SEJARAH PERKEMBANGAN
MUSEUM DI INDONESIA1
A. Pengantar
Sejak kehadiran manusia di muka bumi, mereka sudah memperlihatkan kegemaran
mengumpulkan sesuatu yang dipandang menarik atau unik. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
temuan-serta pada makam-makam prasejarah
di
berbagai negara.
Kemungkinan
besar temuan-temuan
itu merupakan
benda-benda koleksi si
mati semasa hidup.
Kegemaran mengumpulkan
benda rupa-rupanya sudah dikenal sejak lama sebagaimana tergambar
dari kata
museum (Yunani, mouseion), yakni ’kuil untuk memuja dewi-dewi inspirasi, pembelajaran, dan patron seni’ (Akbar, 2010:
3). Di Mesopotamia
museum dalam bentuknya yang paling primitif,
dikenal pada awal milenium ke-2 SM. Di
Sumeria pada abad ke-6 SM, menurut Kotler (2008) yang
dikutip Akbar (2010), para raja
sudah mengoleksi benda-benda antik. Koleksi-koleksi tersebut disimpan di ruangan dekat kuil
mereka masing-masing.
Di Eropa
terutama Yunani dan Romawi, benih-benih permuseuman lahir akibat
peperangan. Biasanya kerajaan yang menguasai wilayah lain akan membawa banyak pampasan perang.
Keadaan
yang lebih baik mulai
terjadi setelah
masa
Renaisans
atau
’Kelahiran Kembali’ pada abad ke-15 M. Renaisans terkait dengan ilmu pengetahuan dan
kalangan elit (bangsawan,
hartawan, tokoh politik,
dan pemuka gereja).
Lahirnya museum
juga tidak lepas dari hobi kalangan terpelajar
dan
bangsawan Eropa untuk mengumpulkan benda-benda
kuno. Ketika itu
benda-benda kuno
terlebih yang
dianggap menarik, indah, aneh,
atau langka, amat diminati. Apalagi yang
berasal dari
suatu zaman yang
disebut-sebut oleh kitab sejarah, legenda, atau dongeng. Kalangan ini lazim
disebut antiquarian.
Sifat kritis dan selalu ingin tahu menjadi ciri pikiran orang Eropa, sehingga berbagai ilmu berkembang dengan pesat. Bersamaan dengan itu, para
pedagang barang
antik juga
mempunyai naluri bisnis. Mereka sering
bepergian ke berbagai tempat, termasuk ke negara-
negara non Eropa. Dari sana mereka membawa berbagai kisah dan benda dari negara-negara
yang mereka kunjungi. Hal ini membawa kesadaran pada orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih banyak
terdapat kebudayaan
lain.
Perkembangan hingga abad ke-17 memperlihatkan minat yang mula-mula terpusat
pada sejarah bangsa Eropa, berkembang lebih luas. Akibat kegiatan orang-orang
berada dan
terpelajar, terkumpullah benda-benda kuno
dalam jumlah besar. Benda-benda tersebut
kemudian disimpan dalam suatu tempat. Mereka saling
mempertontonkan koleksi, bahkan
secara berkala mereka bertemu
untuk
mendiskusikan
benda-benda tersebut.
Namun
’museum’ yang
mereka bangun
belum terbuka untuk umum,
biasanya mereka hanya
mengundang kalangan terbatas untuk berkunjung.
1 Diambil dan disarikan dari buku Sejarah Permuseuman di Indonesia, diterbitkan oleh Direktorat Permuseuman pata tahun
2011
Mencari rempah-rempah di Nusantara, sebenarnya merupakan tujuan utama bangsa
Eropa datang ke sini. Sebagai negara tropis,
tentu saja banyak hal tidak dapat dijumpai di
Eropa. Rupa-rupanya
mereka tertarik dengan flora, fauna, dan budaya Nusantara yang dianggap eksotik. Karena rasa keingintahuan yang besar, maka mereka melakukan berbagai
ekspedisi dan penelitian ilmiah sampai
ke daerah pedalaman.
Peneliti yang paling
sering disebut adalah Georg Eberhard Rumpf (1628-1702). Dia seorang
naturalis kelahiran Jerman tetapi bekerja untuk VOC. Pada 1660 ketika menjadi saudagar, Rumpf mulai tertarik kepada
dunia alam Pulau Ambon. Pada 1662
dia mulai mengumpulkan berbagai spesies tumbuhan dan kerang di rumahnya. Sejak itu namanya lebih
terkenal sebagai Rumphius sesuai selera ilmu pengetahuan pada zaman Renaisans yang gandrung akan
nama-nama Latin atau
Yunani.
Di Batavia,
sejumlah orang
Eropa mendirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778. Berbagai benda arkeologi dan etnografi milik para kolektor dan cendekiawan dikumpulkan di sini, antara lain milik J.C.M. Radermacher (1741-
1783) dan Egbert Willem van Orsoy
de Flines (1886-1964). Radermacher adalah kolektor numismatik, sementara Orsoy de Flines adalah kolektor keramik. Lembaga ini menjadi cikal bakal Museum Nasional.
Raden Saleh
Sjarif
Bustaman (1814-1880)
selain sebagai pelukis, dikenal sebagai bangsawan dan ilmuwan. Dia sering melakukan perjalanan budaya ke Jawa untuk
mencari benda-benda arkeologi dan manuskrip yang masih dimiliki oleh keluarga-keluarga pribumi. Bahkan Raden Saleh sering kali melakukan
ekskavasi
untuk mencari fosil. Sumbangan Raden
Saleh
terhadap Bataviaasch Genootschap
dinilai sangat besar. Demikian
pula F.W. Junghuhn (1809-1864). Dia
menyumbangkan temuan-temuan fosil mamalia. Sumbangan lain untuk
Bataviaasch Genootschaap
datang dari Bupati Galuh,
Kinsbergen, dan Canter Visscher.
Di tanah Jawa beberapa
bangsawan juga menaruh perhatian besar pada
bidang kebudayaan. Pada masa
pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan
mendirikan Museum Radya Pustaka
(1890) di Surakarta. Museum ini mendapat dukungan
dari
kalangan
keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H.
Hadiwijaya.
Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java Instituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan
Jawa, Madura,
Bali,
dan
Lombok. Yayasan itu
berdiri pada 1919 di Surakarta
dipelopori oleh sejumlah ilmuwan
Belanda. Museum Sonobudojo diresmikan
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
VII
pada 6 November
1935.
R.A.A. Kromodjojo Adinegoro mempunyai andil dalam
mengumpulkan koleksi
di daerah Trowulan, Jawa
Timur. Pada 1912 dia mendirikan Museum Mojokerto, namun sisa- sisanya sukar
dilacak
kembali. Pada 1924 arsitek Belanda
Ir.
Henry Maclaine Pont
mendirikan Oudheidkundige Vereniging Majapahit (OVM). Museum Mpu Tantular, juga di Jawa Timur, merupakan kelanjutan dari Stedelijk Historisch Museum
Surabaya, didirikan oleh Godfried Hariowald Von
Faber pada 1933 dan diresmikan pada 25 Juni 1937. Selain di Jawa,
museum sejarah dan kebudayaan
didirikan di Bali.
Pemrakarsanya adalah
Dr. W.F.J. Kroon didukung para raja dan bangsawan Bali. Museum Bali dibuka secara resmi pada 1932. Di
Bukittinggi pada 1935 diresmikan Museum
Rumah Adat Baanjuang. Pendirinya adalah
seorang Belanda, Mondelar. Museum-museum tersebut umumnya merupakan bagian dari
bidang sejarah
dan
kebudayaan.
Museum-museum
bersifat ilmu pengetahuan sains didirikan
di Bogor, yakni Museum Zoologi (1894).
Pendirinya adalah Dr. J.C. Koningsberger.
Di Bandung, pemerintah Hindia
Belanda mendirikan Museum Geologi (1929). Demikianlah sedikit gambaran tentang upaya pendirian museum yang dilakukan oleh kalangan bangsawan, kolektor, dan cendekiawan. Uraian
lebih lengkap
terdapat
pada Bab II dan Bab III buku
ini.
Semua langkah awal pembangunan museum di Indonesia tersebut harus dapat didokumentasikan secara baik. Sejalan dengan tujuan tersebut maka perlu disusun sebuah
buku yang dapat
merangkum perjalanan sejarah permuseuman
di Indonesia. Diharapkan buku tersebut dapat
menjadi
referensi dalam membincangkan
permuseuman Indonesia.
B. Museum-museum Masa Prakemerdekaan
a. Kedatangan
Bangsa Barat dan Jepang
Keberadaan
wilayah
Nusantara
di
persilangan
antara
negara-negara
Barat
dan
Timur, Selatan dan Utara
telah menjadi “titik temu” hubungan antarbangsa. Diawali dengan pertemuan bangsa-bangsa
tetangga di benua Asia
seperti India, Thailand, Arab, Persi, dan
Cina. Disusul oleh kedatangan bangsa
Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis, dari
Barat. Tahun 1942 bangsa Jepang
datang menggantikan penjajah Belanda. Pertemuan antarbangsa itu telah meninggalkan jejak dalam berbagai aspek kehidupan yang
masih dapat ditelusuri sejarahnya.
Kedatangan bangsa Barat di bumi Nusantara yang
pada awalnya untuk berdagang,
akhirnya berubah jadi menjajah. Mata dagang yang
terkenal saat itu adalah rempah-rempah
terutama cengkeh dan pala. Komoditi ini paling
dicari bangsa Eropa sehingga di kalangan
mereka disebutnya
sebagai mata dagang “gold and
spices”.
Dua komoditi
itu
menjadi rebutan. Emas (gold) dibeli dari Afrika, rempah-rempah
dari “Indias” dan dari suatu tempat yang mereka sebut “as
ilhas de cravo” yang mengandung makna ”rempah-rempah yang tempatnya
menjadi sasaran penjelajahan lautan”
. Ini berarti, mata dagang ”rempah-rempah”
dalam bentuk cengkeh dan pala yang
terkenal itu, belum diketahui tempat asal yang
sebenarnya. Bangsa Barat mendapatkan barang-barang
itu
dari pedagang
Cina yang
selama
berabad-abad memang merahasiakan, sebelum mereka datang
dan
mengetahui bahwa barang itu
berasal dari
Kepulauan Maluku. Dengan cara demikian
eksportir cengkeh dimonopoli oleh Cina dan Sri Lanka .
Persaingan dagang antara Portugis, Spanyol, dan Belanda di wilayah Nusantara berlangsung
sejak tahun 1500-an. Armada dagang Portugis mendarat pertama kali di Maluku
(1511). Setelah dua tahun kedatangannya, Sultan Ternate memberikan hak monopoli kepada
Portugis. Tetapi setelah mendarat kapal dagang Spanyol (1521)
di Maluku, hak monopoli dipindahkan ke Spanyol karena negara
ini berani membayar harga cengkeh dua kali lipat dari
pedagang Portugis. Selanjutnya, tahun 1601 Portugis dikalahkan Belanda dan tahun 1603
Spanyol meninggalkan Maluku .
Dengan kepergian
Portugis dan Spanyol, Belanda berhasil memonopoli perdagangan tidak hanya wilayah
Maluku tetapi mencakup seluruh Nusantara. Sesuai
dengan
sifat dagang, Belanda dengan segala cara dan strategi berupaya mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Untuk mendapatkan
untung besar itu
ada dua acara. Pertama,
mampu
bersaing dengan pedagang lain, atau menjadi pedagang tunggal
alias memonopoli. Dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya komoditi rempah-rempah yang
dimonopoli tetapi juga
berbagai tambang, hutan,
pertanian, dan perkebunan. Untuk
menyatukan
beberapa perusahaan Belanda yang saling
bersaing didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) atau “Persekutuan Dagang Hindia Timur” pada 20 Maret 1602 dengan akte pendirian dari
Staaten General (Parlemen
Belanda).
Perkumpulan dagang
VOC ternyata memiliki hak berdagang yang amat luas, tidak
hanya wilayah
Nusantara tetapi
mulai
dari Tanjung Harapan
sampai Selat Magellan,
termasuk pulau-pulau Selatan Pasifik, Kepulauan Jepang, Sri Lanka, dan Cina
Selatan. VOC juga
diberi kewenangan membentuk angkatan perang, mengawasi para raja dari wilayah kegiatannya, menyatakan perang, menerima perdamaian, membuat perjanjian, serta memaksa raja tunduk
kepada VOC. Selain itu juga kewenangan
untuk membuat
Undang-Undang,
Peraturan,
serta membentuk Pengadilan dan Mahkamah
Agung.
Kehadiran bangsa Belanda di wilayah Nusantara dengan seperangkat kewenangan
itu
telah meninggalkan pengaruh besar di bidang kebudayaan. Pengaruh itu ada yang
masuk secara alami tetapi tidak sedikit yang dengan tekanan terhadap segala unsur budaya bangsa.
Sisa-sisa pengaruh
itu
hingga kini masih ada, baik terhadap tinggalan berupa
benda budaya (tangible cultural aspect), budaya yang bersifat nonfisik atau tak benda (intangible cultural aspect), hasil penelitian, perlindungan, pengembangan maupun tinggalan dalam bentuk
kelembagaan
kebudayaan.
Salah satu contoh
pengaruh
yang berlangsung dalam
bentuk tekanan itu
dapat
dilihat dari pembuatan surat perjanjian (Perjanjian Gianti) yang mengatur wilayah kekuasaan antara pihak Belanda dengan raja Paku Buwono VII dari Surakarta. Perjanjian itu membawa pengaruh besar terhadap tata pemerintahan di Jawa dan selanjutnya berdampak terhadap tata budaya Jawa. Akibat
dari
penandatanganan perjanjian itu,
menurut sejarahwan
Darsiti
Soeratman, menyebabkan terjadinya
kemerosotan kekuasaan dan pemerintahan keraton Surakarta selama satu abad. Penandatanganan perjanjian itu membuktikan posisi
raja sebagai
pemegang kekuasaan
menjadi
lemah ketika menghadapi
Pemerintah Hindia Belanda.
Sebaliknya, posisi Pemerintah Hindia Belanda
sangat menentukan dalam kehidupan pemerintahan kerajaan. Merosotnya kekuasaan dalam bidang
politik ini membawa pengaruh terhadap kedudukan sosial raja. Intervensi terhadap bidang
itu
semakin mendalam dan terus
berjalan selama pemerintahan para penggantinya, dan akhirnya pada pemerintahan PB X
kekuasaan dalam bidang pengadilan sepenuhnya jatuh ke
tangan Pemerintah Hindia Belanda
(1903). Akibat dari kebijakan Belanda itu Sunan lebih
banyak mencurahkan perhatiannya
pada
kemegahan dengan
menyelenggarakan
upacara dan pesta di keraton secara besar-
besaran yang cenderung meniru budaya Belanda. Di samping
itu,
tindakan PB X dengan
sangat sering bepergian
ke
luar
daerah,
menampakkan
diri
di
muka umum,
mendatangi
tokoh-tokoh daerah, hanyalah merupakan
suatu
usaha untuk menunjukkan wibawa
dan kebesarannya.
Kenyataan seperti itu tidak hanya terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta. Hampir
di seluruh kerajaan atau kesultanan, kekuasaannya dilemahkan dengan memberlakukan
perjanjian dan segala peraturan perundang-undangan yang
dibuat semata-mata hanya untuk
kepentingan pengekalan penjajahan. Tidak aneh bila
kehidupan rakyat menjadi sengsara, sebaliknya kehidupan pihak penjajah penuh dengan kemewahan. Politik diskriminasi diterapkan dengan ketat sehingga kehidupan
masyarakat pribumi
ditindas dalam segala hal. Orang bumiputra mendapatkan berbagai macam sebutan, seperti pribumi,
nonpribumi, dan indander, dihadapkan dengan sebutan indo, asing, dan Timur asing yang
memang dengan
sengaja dikembangkan sebagai bagian dari politik pembagian kelas antara penduduk asli dan
pendatang, dalam
hal ini kaum penjajah atau
bangsa asing lainnya.
Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas. Masyarakat
kulit putih (Eropa) menempati posisi paling terhormat. Yang
menduduki posisi terhormat kedua adalah masyarakat Timur
Asing, yakni orang-orang
yang berkebangsaan non-Eropa
seperti
Cina
dan India.
Kelas ketiga justru
ditempati oleh masyarakat pribumi yang secara turun-temurun dan berabad-abad
mendiami wilayah
Nusantara. Bentuk kebijakan seperti itu memberikan
pengaruh besar terhadap
gaya hidup
masyarakat
dan perkembangan kebudayaan
bangsa. Bila ada kaum pribumi yang ”terpilih” mendapat kesempatan boleh
mengikuti pendidikan, kaum pribumi itu
dididik menjadi kebarat-baratan,
sehingga tercabut dari akar kebudayaannya. Bahasa
Belanda ditetapkan sebagai bahasa
pengantar, mengakibatkan
bahasa lokal terpinggirkan. Dalam
bidang kesenian, penyajian seni tradisional digantikan oleh kesenian Barat: bidang seni rupa,
seni musik, seni suara, dan seni pertunjukan. Di bidang seni bangunan (arsitektur) banyak berdiri bangunan
dengan gaya “kolonial” atau menurut Djoko
Sukiman disebut gaya “Indis” .
Memasuki
abad ke-18 pemerintahan masa VOC/Hindia Belanda yang
berpusat di Batavia
mulai menaruh perhatian terhadap upaya pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan yang
ada di wilayah Nederlandsch-Indie. Perhatian itu antara lain dilakukan
melalui pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan
di berbagai daerah. Perhatian
pemerintah Belanda terhadap kebudayaan dengan membentuk lembaga-lembaga
itu
dapat dinilai sebagai sumbangan yang besar dalam menelusuri jejak perjalanan sejarah kebudayaan
bangsa.
Lembaga kebudayaan yang berdiri pada
masa
itu antara lain: (1) Bataviaasch
Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (BGKW), 1778; (2) Instituut voor
de Javaansche Taal, 1832; (3) Vereeniging
van
Oudheid, Land, Taal en Volkenkunde (Perhimpunan Kepurbakalaan, Negeri, Bahasa
dan Ilmu Banga-Bangsa) di Jogyakarta, 1886; (4) s’Landarchief (Lembaga Arsip), 1892; (5) Commissie in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundige onderzoek op Java en Madoera, 1901; (6) Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur,
yang kemudian tahun 1917 berubah menjadi Volklectuur
(Balai Pustaka), 1908; (7) gedung
pertunjukan seni Schouwburg, 1911; (8) Oudheidkundige Dienst
(OD) van Nederlandsch-Indie (Lembaga Purbakala), 1913; (9)
Bataviaasch Kunstkring (Lingkaran Seni Batavia), 1914; (10) Vereeniging tot bevordering van het Bibliotheekwezen
in Nederlandsch Indie (Perhimpunan untuk Memajukan Kehidupan
Perpustakaan), 1916; (11)
Java-Instituut,
1919;
dan
(12)
Oudheidkundige
Vereeniging
Madjapahit
(Perhimpunan
Kepurbakalaan Madjapahit), 1924.
Selain lembaga-lembaga
kebudayaan di atas, pemerintah Belanda juga telah mendirikan berbagai museum di berbagai daerah.
Lembaga-lembaga museum itu setelah Indonesia merdeka menjadi modal dasar pengembangan museum
di Indonesia.
Lembaga museum
yang didirikan antara
lain: (1) Museum
van het BGKW, 1778; (2)
Museum Radya Pustaka, 1890; (3) Museum Zoologi Bogor, 1894; (4) Museum Zoologi Bukittinggi,
1894; (5) Museum Mojokerto, 1912; (6) Museum Rumoh Aceh, 1915; (7)
Museum Mangkunegoro
Surakarta, 1918; (8) Museum Trowulan, 1926; (9) Museum Gedong Kirtya Singaraja, 1928;
(10) Museum Geologi Bandung, 1929; (11) Museum Bali Denpasar, 1932; (12) Museum Rumah Adat Banjuang Bukittinggi, 1933; (13) Museum Stedelijk Historisch Surabaya, 1933; (14) Museum Sonobudoyo Yogyakarta, 1935; (15) Museum Simalungun Sumatera Utara,
1938;
(16) Museum Kota Batavia Lama
(Oud Bataviasch
Museum), 1939.
Pada masa pemerintahan kolonial Inggris (1811-1816) dapat dikatakan kebijakan di bidang kebudayaan tidak jauh berbeda dengan pemerintah Belanda. Tradisi keilmuan yang
telah berkembang di bangsa-bangsa Eropa oleh Gubernur Jenderal T.S. Raffles dilanjutkan dan dikembangkan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengganti nomenklatur BGKW menjadi Literary Society. Posisi lembaga Literary Society di pemerintahan berada di bawah Letnan Gubernur Jawa
(Lieutenant
Governor of Java), yang dijabat
oleh
Raffles.
Misi lembaga
ini dititikberatkan pada
upaya
melakukan penelitian, pencatatan, dan pemeliharaan
kebudayaan untuk penyusunan buku sejarah. Lahirlah buku sejarah yang terkenal, History of Java, yang
oleh John Bastin dan Bea Brommer disebut sebagai “mahakarya” yang berisi
topografi Jawa yang
benar-benar penting . Pada masa Raffles, beberapa ahli mendapat tugas
melakukan penggambaran,
pencatatan,
dan
penelitian terhadap peninggalan sejarah
dan purbakala.
Langkah kedua yang dilakukan oleh Inggris adalah memindahkan kantor BGKW
dari Jalan Pintu Besar Selatan ke Jalan Majapahit, dekat gedung Societeit Harmonie (1815).
Selama
memerintah, Inggris tidak membangun museum kecuali hanya memindahkan kantor BGKW. Dalam bekerja Raffles telah memanfaatkan bantuan orang bumiputra sebagai nara sumber.
Setelah Inggris menyerahkan eks Hindia Belanda
kepada Belanda
sesuai Konvensi London 1814, kebijakan pengurusan kebudayaan yang telah diletakkan oleh Raffles
dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Prof. C.G.C. Reinward yang datang
ke Jawa tahun
1816, selain diserahi tugas di bidang
kesenian dan pengetahuan (kunst en wetenschappen),
juga di bidang kepurbakalaan (oudheiden).
Berbeda dengan kedatangan bangsa Barat, Jepang sebagai bangsa dan negara di
benua Asia, datang dengan cita-cita membangun imperium
di benua Asia menjadi Asia Timur Raya.
Bangsa Barat yang menjajah
di
negara-negara
Asia
dipukul mundur oleh Jepang. Politik penjajahan yang
diterapkan oleh Jepang memang sangat keras. Dalam tempo
tiga
setengah tahun rakyat Indonesia dibuat sangat menderita baik fisik maupun batin. Rakyat
dipaksa bekerja tanpa diberi upah. Pemuda-pemuda
dipaksa menjadi tentara, dilatih dengan disiplin yang keras. Tidak sedikit rakyat yang meninggal karena dihukum, dipaksa
perang dan kerja rodi, sakit dan kelaparan. Tetapi dari balik segala penderitaan itu terselip suatu nilai
positif bagi bangsa Indonesia. Kehadiran Jepang “secara tidak langsung lebih membantu mendorong
perkembangan kebudayaan Indonesia, khususnya dalam bidang bahasa, drama,
musik, seni rupa” . Di
mata Sanoesi Pane tentara Dai Nippon “sanggup mengenyahkan imperialis Belanda dan kita sekarang
dapat kesempatan memperbaiki taman kebudayaan kita
kembali” . Sikap pemerintah Jepang yang
anti kebudayaan Barat telah menjadi pelajaran berharga
dalam mengubah pola pikir rakyat Indonesia dari bangsa
kuli, jongos, dan inlander menjadi bangsa yang memiliki rasa percaya diri dan berani. Bangsa yang memiliki rasa bangga terhadap bangsa dan kebudayaannya, bangkit menegakkan harkat dan martabatnya.
Salah
satu departemen yang dibentuk pada masa pemerintahan Jepang adalah
Sendenbu, yakni departemen yang mengurus Urusan Propaganda. Di dalam departemen ini dibentuk lagi organisasi-organisasi (Domei) yang berada dalam pengawasan dan tanggung jawabnya, yaitu: (1) Hoso Kanri Kyoku atau Jawatan Radio, dibentuk
Oktober 1942; (2)
Jawa
Shinbunkai yang mengurus persuratkabaran, dibentuk Desember 1942;
(3) Eiga Haikyusha yang
mengurus Pengedar Film, dibentuk Desember 1942; dan (4) Keimin Bunka Sidosho
atau Pusat Kebudayaan,
dibentuk April 1943.
Selanjutnya, Keimin Bunka Sidosho dibagi ke dalam bidang-bidang berserta
pimpinannya.
Sesuai kebijakan yang telah digariskan
bahwa perlu diusahakan agar kedatangan Jepang
mendapatkan dukungan rakyat, maka pimpinan bidang-bidang dalam
organisasi Keimin Bunka Sidosho didamping oleh orang bumiputra. Bidang-bidang yang ada dalam Keimin Bunka
Sidosho adalah: (1) Bagian Kesusastraan, dipimpin Rintaro
Tekada,
pendampingnya Armijn Pane dan Usmar Ismail; (2) Bagian Lukisan
dan Ukiran dipimpin T.
Kono, tanpa ada pendamping; (3) Bidang
Musik dipimpin oleh N. Iida, dengan pendamping Cornel Simandjuntak; (4) Bidang
Sandiwara dan Tari menari, dipimpin K. Yasuda,
pendamping tidak ada; (5)
Bidang Film, dipimpin oleh Soitji Oja yang merangkap sebagai Ketua
Keimin
Bunka Sidosho.
Antara pemerintah kolonial Belanda dan Inggris dengan pemerintah Jepang mempunyai kesamaan dan perbedaan kebijakan dalam menjalin kerja sama dengan kaum bumiputra. Dalam menjalankan pemerintahannya Belanda
juga memerlukan dukungan kaum
bumiputra, tetapi hanya untuk jabatan-jabatan yang menengah dan rendah. Inggris
menggunakan pendekatan politik kerja sama dengan pemerintah kerajaan dan masyarakat yang
lebih lunak dibandingkan dengan Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda jabatan
tinggi hanya
diduduki oleh orang-orang Belanda. Kebijakan itu ditempuh karena selain untuk mendapatkan simpati, gaji untuk tenaga bumiputra dibayar rendah. Pemerintah Jepang
juga memerlukan dukungan dan
simpati
dari kaum
bumiputra
tetapi kaum
bumiputra
dapat mengisi jabatan-jabatan tinggi, seperti
tersebut di atas.
Keimin Bunka Sidosho dibentuk
dengan tujuan untuk membangunkan dan
memimpin kebudayaan, terutama berusaha memelihara
kesenian klasik dan kesenian asli Indonesia, di samping
untuk
menanam dan menyebarkan kesenian Nippon. Selain itu, untuk
mendidik dan melatih para ahli kesenian di
segala lapangan, serta
menghargai dan menghadiahi pekerjaan ahli kesenian
yang utama. Keimin Bunka Sidosho juga
mengusahakan agar nantinya mereka dapat diutus ke Nippon. Dengan penetapan kebijakan
dan tujuan seperti itu dinilai kebudayaan dapat dijadikan media
dalam mengambil simpati
rakyat
untuk mendukung kehadirannya di Indonesia.
Sementara itu, mengenai perhatian pemerintah Jepang terhadap bidang museum dan
kepurbakalaan tidak begitu besar dibandingkan dengan bidang seni (rupa, sastra, musik, tari, drama dan film) tradisi dan bahasa. Bidang-bidang
itu
dinilai memiliki nilai strategis bagi upaya melakukan propaganda. Tidak
demikian halnya
dengan
bidang permuseuman dan kepurbakalaan, tidak memiliki potensi untuk dimanfaatkan untuk propaganda. Tetapi ada
satu hal menarik dari sikap
penjajah Jepang yang berbeda dengan sikap penjajah Belanda dan
Inggris. Meskipun selama menjajah Jepang dinilai telah merampas harta benda masyarakat, tetapi terhadap berbagai koleksi yang
disimpan di beberapa museum yang memiliki nilai historis dan ekonomis yang
tinggi justru pemerintah Jepang tidak mau mengambil, bahkan
sebaliknya membela keselamatannya.
Sebelum Jepang datang ke Batavia, banyak koleksi museum dibawa ke rumah perseorangan untuk diselamatkan
oleh pengurus BGKW. Mereka
khawatir
penjajah Jepang menjarah koleksi yang
telah dikumpulkan itu. Benda-benda itu kemudian dijaga oleh para
petugas museum. Keberadaan benda koleksi itu sempat kocar-kacir, dan bahkan ada yang
jatuh ke tangan orang
Cina untuk dipajang di rumah masing-masing. Setelah Jepang benar-
benar masuk Batavia, pengurus
BGKW
termasuk
orang-orang yang
menyimpan
benda
koleksi ditangkap
dan diinternir. Pemerintah
Jepang memerintahkan
agar
benda-benda koleksi dicari dan dikembalikan
ke museum, termasuk yang berada di tangan beberapa orang
Cina.
Selain untuk pengamanan benda-benda koleksi oleh perseorangan, pihak Belanda
juga telah menyusun rencana
untuk membawa harta
museum BGKW ke Australia. Terlebih dulu
benda-benda berharga itu akan dibawa ke Bandung, kemudian kalau keadaan memaksa akan dibawa ke Cilacap
dan dari sana akan diberangkatkan ke Australia. Benda-benda
tersebut dipak dalam peti-peti, diberangkatkan ke Bandung
pada Agustus 1942 dan dititipkan
kepada de Javasche Bank. Tetapi pada November, Kinoshita, yang
diberi tugas memimpin museum oleh pemerintah Jepang, meminta kembali benda-benda
tersebut. Ketika
tiba kembali di museum
seorang petugas bernama Naiman diminta meneliti apakah ada benda
yang palsu atau tidak. Berkat ketelitian dan ketajaman ingatan, benda-benda tersebut dinyatakan
masih sama seperti dulu.
Di bidang kepurbakalaan, menurut Soekmono,
pemerintah Jepang telah memberikan pelajaran yang
sangat berguna. Seorang
pembesar Jepang di Magelang yang
mengetahui bahwa di belakang timbunan batu-batu yang mengelilingi kaki Candi Borobudur
terdapat sejumlah relief yang
melukiskan adegan-adegan Karmawibhangga, telah
membongkar tumpukan batu-batu di sisi Tenggara. Pekerjaan itu dilakukan secara ceroboh,
asal bongkar saja, sehingga batu-batu bongkaran itu tidak
dapat dikembalikan
ke posisi
semula.
Uraian di atas memberikan gambaran tentang
tujuan dan misi pembentukan Keimin
Bunka Sidosho sebagai lembaga-lembaga yang
berhubungan dengan masalah-masalah kebudayaan selama pemerintahan militer
Jepang. Selain melakukan usaha-usaha itu, lembaga ini
juga menerbitkan peraturan-peraturan yang bertujuan membatasi pemberitaan-
pemberitaan yang
dianggap menyimpang dari kebijakan pemerintahan militer. Selama
memerintah, Jepang tidak membangun museum kecuali menyelamatkan koleksi Museum van het
BGKW.
b. Museum Masa Kolonial
Selain
sebagai
pusat pemerintahan
Batavia juga menjadi tempat
berkumpul
kalangan elit, seperti ilmuwan dan tokoh politik. Mereka
mulai mempunyai
perhatian terhadap
upaya penelitian, pemeliharaan, pembinaan, dan
pengembangan kebudayaan yang
ada di wilayah Indonesia dulu (Nederlandsch-Indie), melalui beberapa
kelembagaan. Mereka
mendirikan lembaga bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga
Kesenian dan
Pengetahuan Batavia) pada 24 April
1778
dan direstui
oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Reinier de Klerk. Berdirinya lembaga swasta ini dirintis
Jacobus
Cornelis Mattheus Radermacher (ketua
Raad
van
Indie). Setelah lembaga ini berjalan
selama 84 tahun, pada 1862 mulai dirintis berdirinya gedung
museum yang diberi nama
Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en
Wetenschappen. Berdirinya museum ini telah menggerakkan berdirinya museum-museum
lain di berbagai daerah. Setelah
Indonesia merdeka museum-museum itu
telah
menjadi modal untuk melanjutkan
keberadaannya.
Perlu dicatat bahwa pada abad ke-17 ada sebuah nama
yang dianggap pelopor
pendirian museum, yakni Georg
Eberhard Rumpf (1628-1702) atau Rumphius. Dia seorang naturalis kelahiran Jerman, yang bekerja untuk
VOC. Rumphius bermukim di Ambon pada
1653-1702.
Selama di daerah itu, ia memanfaatkan waktunya untuk menulis Ambonsche Landbeschrijving, yang
juga antara lain memberikan gambaran tentang sejarah atau hikayat kesultanan di daerah Maluku, di samping penulisan mengenai keberadaan kepulauan,
kependudukan, dan lain sebagainya. Rumphius telah memberikan pengetahuan tentang
hasil penelitiannya terhadap
jenis-jenis
tumbuhan dari Pulau
Ambon dan pulau-pulau sekitarnya.
Hasil karyanya itu baru
diterbitkan setelah ia
meninggal dunia, yaitu D’Ambonsche Rariteitkamer
(1705), dan dua
jilid pertama dari
Herbarium
Amboinense
atau Het Amboinsche Kruidboek yang terdiri
atas enam jilid (1741)
dan jilid terakhir
tahun 175015.
Sayang bangunan
milik
Rumphius yang dapat
dikatakan
museum
tertua di Nusantara itu, tidak diketahui jejaknya
lagi. Diperkirakan pada mulanya bangunan tersebut
rusak karena gempa bumi (1674). Pada 1687 di Ambon terjadi kebakaran hebat. Bangunan milik Rumphius
kembali menjadi
korban. Api
menghanguskan
gambar-gambar untuk bukunya tentang
tumbuhan, menghanguskan konsep naskah tentang kerang, serta menghanguskan koleksi tumbuhan dan
kerang.
Bangunan
dan berbagai
koleksi yang dikumpulkan
Rumphius lebih dari 15 tahun
ikut musnah.
Berikut ini gambaran singkat beberapa museum
prakemerdekaan yang berada di
Jawa, Bali,
dan Sumatera.
1. Museum van het BGKW, Batavia
Keberadaan museum ini tidak dapat dipisakan dari
sejarah berdirinya BGKW.
Tempat kedudukan, waktu pendirian, dan tujuan BGKW dinyatakan dalam Statuten16 Pasal
1 sampai 3. Lembaga ini berkedudukan di Batavia. Tujuan pendiriannya sebagaimana dinyatakan
dalam
Pasal 2
ialah ”Memajukan
pengetahuan-pengetahuan kebudayaan, sejauh
hal-hal
ini berkepentingan bagi pengenalan kebudayaan di Kepulauan Indonesia
dan kepulauan sekitarnya”. Slogannya berbunyi “Ten Nutte van het Algemeen” atau “Untuk Kepentingan Masyarakat
Umum”.
Dalam Pasal 3 Statuten dinyatakan bahwa
untuk mencapai tujuannya ialah: (1) memelihara
museum termasuk perpustakaan; (2)
mengusahakan majalah-majalah dan penerbitan-penerbitan lainnya di samping
pengumpulan hasil penulisan dari BGKW sendiri; (3) mengadakan dan mengembangkan penelitian di samping
memberikan penerangan dan kerja
sama dengan semua yang melakukan studi sesuai dengan lingkungan studi BGKW; dan
(4) memperbanyak
penerangan
bagi
Pemerintah Hindia Belanda.
Semakin lama benda koleksi arkeologi dan etnografi itu semakin
banyak. Koleksi itu tidak hanya berasal dari usaha pengumpulan oleh BGKW tetapi juga milik para
kolektor dan cendekiawan yang disatukan di lembaga ini. Benda-benda koleksi museum
semakin banyak
dan
gedung di Jalan
Majapahit itu
sudah
tidak
memadai. Dimulailah rintisan pendirian gedung museum pada 1862 dengan membuat rancangan sebuah gedung
museum baru. Lokasi yang dipilih adalah tanah bekas lapangan dan kandang kuda Perkumpulan
Penggemar Kuda “Batavia Wedloop Societeit” yang
didirikan oleh Gubernur Jendral Van der Capellen (1825), di Koningsplein West atau Jalan Merdeka Barat No.12 sekarang. Sembilan puluh
tahun sejak berdirinya BGKW gedung baru itu diresmikan, statusnya tetap di bawah
BGKW dengan nama Museum van Het BGKW.
Kegiatan museum diatur di Pasal 19 yang meliputi: (1) perbukuan (boekreij); (2)
himpunan etnografis; (3) himpunan kepurbakalaan; (4)
himpunan prasejarah; (5)
himpunan keramik;
(6)
himpunan
musikologi;
(7) himpunan
numismatik, pening, dan
cap;
(8)
himpunan naskah (handschriften)
dan dapat diperluas dengan himpunan-himpunan lainnya
atas keputusan Direksi BGKW. Yang menarik, dalam Pasal 20 Statuten dinyatakan bahwa
semua benda yang telah menjadi himpunan museum atau BGKW tidak boleh dipinjamkan dengan cara
apa pun kepada pihak ketiga dan anggota-anggota atau bukan anggota untuk dipakai atau disimpan, kecuali mengenai perbukuan
dan himpunan naskah.
Pengenalan warisan budaya bangsa yang disimpan di Museum van Het BGKW tidak hanya untuk masyarakat dalam negeri, tetapi juga
ke luar
negeri. Lembaga ini juga berjasa dalam menyebarluaskan informasi hasil penelitian ke berbagai lembaga
ilmiah di
berbagai benua dan juga memperkenalkan kebudayaan bumiputra melalui pameran
internasional.
Koleksi Museum van Het Batavia dan beberapa museum lainnya
mulai dikenalkan
kepada
masyarakat
Eropa dengan
mengikuti berbagai
Pameran Internasional. Pameran
pertama diselenggarakan tahun
1851, yaitu Great Exhibition
of the Works of Industry of all Nations di kota London, Inggris. Disusul tahun 1883, The International Colonial and Export
Trade Exhibition, di Amsterdam, Belanda. Tahun 1889, pindah ke kota
Paris, de l’Exposition Universelle de Paris. Tahun 1900, diselenggarakan Netherlandsche
Gids
op de Parijsche
Tentoonstelling.
Tahun 1910, di kota Brussels, Belgia
diselenggarakan World
Exhibition, dan
berikutnya tahun 1931 diselenggarakan lagi Exposition Coloniale Internationale,
di kota Bois de Vincennes, Prancis.
Dalam
pameran-pameran itu
Museum van Het BGKW terlibat sebagai
penyelenggara atas nama negara Belanda.
Dalam kelembagaan BGKW telah masuk tenaga ahli dan staf dari kalangan
bumiputra yang menjadi
perintis dalam penelitian kebudayaan setelah Indonesia merdeka.
Bila dibandingkan keberadaan lembaga-lembaga BGKW dengan lembaga-lembaga kebudayaan (penelitian) masa
sekarang, dapat disimpulkan adanya kecenderungan penurunan dalam berbagai hal: vitalitas, mentalitas, dan kualitas penelitian tidak hanya
di bidang arkeologi.
2. Museum Radya Pustaka,
Surakarta
Museum ini didirikan pada 1890,
terutama menyimpan benda-benda
dan
naskah- naskah kuno dari daerah Kasunanan Surakarta. Pendirinya adalah seorang bumiputra
sejati, K.P.A. Sosrodiningrat IV yang menjabat patih pada pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IX. Peristiwa ini menjadi catatan penting
karena seorang bumiputra pertama dan
seorang pejabat pemerintah (kerajaan) memiliki kesadaran tinggi tentang
arti
museum. Museum ini menyimpan berbagai koleksi R.T.H. Joyohadiningrat II, sang pemrakarsa berdirinya Perkumpulan Paheman Radya Pustaka.
Awalnya museum ini berada di salah satu ruang
di kediaman K.P.A Sosrodiningrat
IV
di Kepatihan, yakni Panti Wibowo, sehingga museum ini bersifat pribadi (privat) dan swasta murni. Kemudian atas prakarsa
Paku Buwana X, museum dipindahkan ke Loji Kadipolo pada 1 Januari
1913. Gedung Loji Kadipolo yang menjadi lokasi museum sekarang ini tanahnya dibeli oleh Sri Susuhunan Paku Buwono
X dari seorang Belanda, Johannes
Buselaar seharga 65 ribu gulden dengan akta noktaris 13/VII tahun
1877 nomor 10 tanah
eigendom. Museum Radya Pustaka berstatus yayasan, yakni
Yayasan
Paheman
Radyapustaka
Surakarta dan dibentuk
pada 1951. Pelaksanaan tugas sehari-hari dilakukan oleh presidium, yang pertama
tahun
1966 diketahui oleh Go Tik
Swan
(K.R.T. Harjonagoro.
Museum ini berjasa dalam menyelamatkan berbagai artefak, juga di bidang bahasa
(Jawa). Setelah seminar yang
dihadiri oleh utusan Keraton Surakarta, Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, Pura Paku Alaman serta sejumlah hadirin pada 29 Desember 1922, lahir Ejaan Sriwedari, yaitu suatu kesepakatan dalam cara
penulisan huruf Jawa. Hasil seminar ini kemudian
ditetapkan dengan keputusan
Pemerintah
Hindia Belanda.
Paheman Radya Pustaka juga
menerbitkan majalah bulanan berbahasa Jawa (Sasadara, Candrakanta, dan Nitibasa), menyelenggarakan kursus (dalang, gamelan,
bahasa Kawi),
dan
mengadakan pagelaran (membuat wayang, mengukir
kayu, membuat keris, dan membatik).
3. Museum Zoologi, Bogor
Pada Agustus 1894 Dr. J.C. Koningberger mendirikan Museum Zoologicum Bogoriensis (MZB),
merupakan bagian dari ‘s Lands Plantentuin. Fungsi awalnya adalah
laboratorium zoologi sebagai wadah penelitian bidang pertanian dan zoologi, dengan nama
Landbouw Zoologisch Museum.
Pembangunan gedung museum baru selesai akhir Agustus
1931. Tujuan pendirian museum ini
adalah mengumpulkan dan memamerkan koleksi binatang-binatang
yang
telah diawetkan dari jenis mamalia, reptilia,
serangga, burung, amfibia, ikan,
dan
moluska. Juga himpunan concyologia
dari Jawa khususnya HindiaBelanda
pada umumnya serta himpunan carcinaogia termasuk jenis kerang-kerang dari Kepulauan Indonesia.
Tugas dan kewajiban Museum
Zoologi didasarkan pada Surat Keputusan
Pemerintah tanggal 26 Januari 1908 No. 42
Departement van Landbouw (Departemen
Pertanian)
. Museum
ini bergabung dengan Laboratorium di Bogor dan dengan Stasiun
Perikanan
(Visserij station)
di Batavia.
4. Museum
Zoologi, Bukittinggi
Museum ini didirikan bersamaan waktunya dengan pendirian Museum Zoologi Bogor,
yaitu
tahun 1894.
Museum itu kini berada di Taman Marga Satwa dan
Budaya Kinantan, di Jalan Cindua Mato Kelurahan Benteng Pasar Atas. Taman ini dibangun pada
1900 oleh Contreleur Strom Van Govent. Pada 1929 dijadikan kebun binatang oleh Dr. J
Hock dan sampai
sekarang masih tetap berfungsi sebagai kebun binatang tertua
di Indonesia.
Tujuan pendirian museum ini hampir
sama dengan pendirian Museum Zoologi
Bogor, yakni mengumpulkan dan memamerkan koleksi binatang-binatang yang
telah
diawetkan. Di tengah-tengah taman ini terdapat sebuah Museum Kebudayaan yang
berbentuk
Rumah Adat Minangkabau,
dibangun
pada 1935.
5. Museum Mojokerto, Mojokerto
Museum ini didirikan pada
1912 atas usul Bupati Mojokerto, R.A.A Kromojoyo Adinegoro.
Ia adalah
seorang
pribumi yang
mempunyai perhatian terhadap
pendirian museum
dan konservator benda-benda warisan budaya
bangsanya, terutama terhadap
peninggalan kebudayaan masa Indonesia-Hindu. Kromodjojo mendorong
dilakukannya
penelitian peninggalan baik dari
daerah
Trowulan khususnya maupun dari daerah Jawa Timur
pada umumnya.
Pada 24 April 1924, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro bekerja sama dengan Ir. Henry Maclaine Pont, seorang
arsitek Belanda mendirikan Oudheidkundige Vereeniging
Madjapahit (OVM), yaitu sebuah perkumpulan yang
bertujuan untuk meneliti peninggalan-peninggalan
Majapahit. OVM menempati sebuah rumah di Situs Trowulan yang
terletak di jalan raya jurusan Mojokerto-Jombang
km 13, untuk menyimpan artefak-artefak yang diperoleh baik
melalui penggalian, survei maupun
penemuan secara tidak sengaja oleh penduduk setempat. Mengingat banyaknya artefak yang
layak untuk dipamerkan, maka direncanakan untuk
membangun sebuah museum. Museum
itu baru terealisasi pada 1926, dikenal dengan nama
Museum Trowulan. R.A.A. Kromojoyo Adinegoro juga tercatat sebagai anggota Bataviaasch
Genootschap
van
Kunsten en Wetenschappen.
Sayang gedung museum yang amat bersejarah itu oleh Bupati Mojokerto di tahun
1996 “dipaksa” tukar guling dengan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa
Timur. Caranya, pihak Kantor
Suaka
menyerahkan
lahan
Museum
Mojokerto untuk perluasan kantor Pemda dan selanjutnya pihak Pemda
membangunkan perluasan kantor Suaka/Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Mojokerto. Suatu cara pertukaran yang sangat merugikan kepentingan sejarah, purbakala, dan
permuseuman.
6. Museum Rumoh Aceh, Banda
Aceh
Museum
ini berawal dari sebuah bangunan yang dikenal
dengan
sebutan “Rumoh
Aceh”, berupa rumah panggung tradisi Aceh. Rumah
ini dibuat
pada 1914, digunakan sebagai ruang
pameran kebudayaan Aceh pada “Pameran Kolonial” (Colonial Exhibition) yang berlangsung di
beberapa kota di
Eropa, seperti Amsterdam,
Paris, London, dan
Brussel.
Pameran Kolonial pernah diselenggarakan
di Semarang. Bangunan ini kemudian
dibawa pulang ke Banda Aceh tahun 1915, ditempatkan pada lokasi sekarang. Oleh Gubernur
Van Swart (Belanda) rumah
itu dijadikan Museum Rumoh Aceh.
Museum
inilah yang
menjadi modal dasar
pembangunan Museum Negeri Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sekarang.
Museum
ini
menjadi tempat
menyimpan,
merawat dan memamerkan
koleksi
benda-benda dari daerah bekas Kesultanan Aceh Darussalam dan benda budaya masyarakat Aceh.
7. Museum Puro Mangkunegaran, Surakarta
Didirikan pada 1918 oleh Mangkunegoro VII, perintis diselenggarakannya Kongres Kebudayaan Jawa. Mangkunegoro VII
juga menjadi salah seorang pendiri lembaga kebudayaan Java Instituut (1919)
dan
Museum Sonobudoyo di Yogyakarta
(1935). Museum Mangkunegaran bertujuan melestarikan sejarah Pura Mangkunegaran yang
tidak dapat
dipisahkan dari kisah perjuangan R.M. Said atau Pangeran Sambernyawa antara tahun 1740-
1757. R.M. Said yang kemudian bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegoro I
adalah pendiri Pura
Mangkunegaran.
Museum ini memamerkan
berbagai benda
koleksi
milik Pura Mangunegaran, mulai dari
Mangkunegoro I hingga sekarang.
Museum Mangkunegara berada di sebelah Utara Pringgitan, menempati salah satu
bangunan
dalam kompleks Pura Mangkunegaran.
Di
dalam museum ini juga
tersimpan koleksi buku, termasuk buku-buku
sastra. Koleksi
itu ditempatkan di sebuah
ruangan yang disebut
“Rekso Pustaka” sebagai sumber ilmu pengetahuan yang
berkembang di lingkungan
Pura Mangkunegaran, dibangun oleh Mangkunegoro IV. Selain sebagai pendiri museum, menurut Takashi Shiraishi, seorang ahli sejarah Asia
Tenggara dari Jepang, Mangkunegoro VII
disebutnya sebagai “raja modern berbudi cerah”. Juga sebagai tokoh kunci dalam politik
dan kebudayaan.
8. Museum Trowulan,
Mojokerto
Pendirian museum ini diawali dengan berdirinya OVM oleh R.A.A. Kromojoyo
Adinegoro, Bupati Mojokerto bekerja
sama dengan
seorang
arsitek dan
arkeolog,Ir.Henry Maclaine Pont. Tujuan dari perkumpulan ini adalah melakukan penelitian
peninggalan situs bekas
kerajaan Majapahit dan mencegah pencurian artefak
dari situs Majapahit.
Kantor OVM menempati sebuah rumah di situs
Trowulan.
Untuk menyimpan
dan
merawat berbagai benda temuan,
dibangun sebuah gudang. Karena
benda koleksi semakin banyak dan timbul keinginan untuk memamerkan, maka
direncanakanlah
pembangunan museum. Berkat peran Bupati Kromojoyo Adinegoro keinginan itu akhirnya tercapai dengan diremikannya Museum Trowulan pada 1926
di dekat situs. Ketika Jepang datang
pada 1942 Maclaine Pont ditawan, sehingga museum ditutup untuk umum.
9. Museum Gedong
Kirtya, Singaraja
Museum Gedong
Kirtya dibangun di Singaraja berkat kepedulian seorang
berkebangsaan Belanda, L.J.J Caron. Suatu kali ia bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk
berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra (lontar) yang ada di Bali. Menurut Caron kekayaan seni ini sepatutnya dipelihara agar tidak rusak atau hilang sehingga memberikan kesempatan bagi generasi selanjutnya
untuk mengetahui isi dari kesenian sastra
(lontar) tersebut.
Museum ini bermula dari sebuah yayasan “Kirtya Lefrink – Van der Tuuk”
(1928). Nama ini berasal dari
Asisten Residen Belanda di Bali, F.A Lefrink. Pada waktu itu ia sangat
tertarik dengan kebudayaan
Bali. Dr. H.N Van der Tuuk
adalah seorang sejarahwan, ia memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum. Gedung ini terletak di kompleks
Sasana Budaya, yang merupakan istana tua Kerajaan Buleleng. Lokasi di Jalan Veteran, Singaraja.
Pada
masa itu, Singaraja
merupakan
ibu kota Sunda Kecil.
Kata “kirtya” diusulkan
oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata “kr”, menjadi “krtya”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang
mengandung
“usaha” atau “jerih payah”. Dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini, ratusan
tesis magister dan disertasi doktoral telah lahir. Ribuan
karya ilmiah mengalir. Yang
paling monumental,
telah lahir sebuah megaproyek kamus Jawa Kuna, dikerjakan puluhan
tahun oleh Prof. P.J.
Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar
sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh
Prof. S.O. Robson.
Awalnya hanya seri Jawa Kuna-Inggris, kini sudah tersedia
terjemahan Jawa
Kuna-Indonesia
atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
Yayasan ini bertujuan melacak semua
naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno
dan Pertengahan, berbahasa Bali, dan Sasak, sejauh masih
terdapat di Bali dan Lombok. Naskah-naskah itu kebanyakan dimiliki oleh perorangan. Dengan demikian naskah-naskah tersebut
dapat lebih mudah diakses
para peminat.
Agar
tujuan itu
dapat
dilaksanakan maka raja-raja setempat,
para pendeta, dan
orang-perorangan di daerah itu diminta
untuk menyerahkan milik mereka
untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan
naskah-naskah
mana yang
dianggap cukup
berharga
untuk
disimpan dalam
koleksi
itu. Lontar-lontar
itu
disalin seteliti mungkin oleh sebuah kelompok, dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar). Barulah kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu
dikembalikan kepada pemiliknya.
10. Museum Geologi,
Bandung
Pada masa penjajahan Belanda keberadaan Museum Geologi berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi dan tambang di wilayah Nusantara yang
dimulai sejak pertengahan abad ke-17 oleh para ahli Eropa. Setelah mengalami
revolusi industri pada
pertengahan abad ke-18, Eropa sangat membutuhkan bahan tambang
sebagai bahan dasar
industri. Pemerintah Belanda sadar akan pentingnya
penguasaan bahan galian di wilayah Nusantara. Melalui hal ini, diharapkan perkembangan industri
di Belanda dapat ditunjang.
Maka pada 1850, dibentuklah Dienst van het Mijnwezen. Kelembagaan ini berganti nama menjadi
Dienst van
den Mijnbouw pada 1922,
yang bertugas melakukan penyelidikan
geologi
dan sumber daya mineral.
Hasil penyelidikan yang berupa contoh-contoh batuan, mineral, fosil, laporan, dan
peta memerlukan tempat untuk penganalisisan
dan penyimpanan, sehingga pada 1928 Dienst
van
den Mijnbouw membangun gedung
di Rembrandt Straat Bandung. Gedung
tersebut pada
awalnya bernama Geologisch Laboratorium yang juga disebut
Geologisch Museum.
Gedung
Geologisch Laboratorium dirancang dengan gaya Art Deco oleh arsitek Ir. Menalda van Schouwenburg. Pembangunannya memerlukan waktu 11 bulan dengan 300
pekerja. Dana yang dikeluarkan sebesar 400 Gulden. Peresmian gedung dilakukan pada 16
Mei 1929,
menyambut penyelenggaraan Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik
ke-4 (Fourth
Pacific Science Congress) di Bandung pada 18-24 Mei
1929.
Museum ini telah direnovasi dengan dana bantuan dari JICA (Japan International
Cooperation Agency). Dalam
museum ini tersimpan
materi-materi geologi,
seperti fosil, batuan, dan mineral. Kesemuanya
itu
dikumpulkan selama kerja lapangan di Indonesia sejak
tahun 1850 .
11. Museum Bali,
Denpasar
Museum ini didirikan pada 1932, terletak di jantung kota Denpasar. Museum Bali
dalam ruang lingkup mandala, pusat simbol kuasa dan spiritual. Sebelah timur berdampingan
dengan lapangan Puputan
Badung, bersebelahan dengan Pura Agung Jagat Natha. Kisah
bangunan ini cukup panjang. Bermula pada 1910, saat kapal Belanda
KPM
mendarat di Bali
dan
menurunkan turis. Sejak
itu
Bali mulai dikenal di mancanegara, sehingga mulai kedatangan banyak turis. Dampaknya ternyata adalah banyak barang
sejarah dan prasejarah
hilang
atau diboyong oleh para pelancong itu. Melihat kondisi
tersebut Mr. W.F.J Kroon, Asisten Residen Bali dan Lombok memerintahkan Mr. Curt Grundler
untuk membuat tim perencanaan museum dengan arsitektur Bali. Museum Bali didirikan guna
melestarikan peninggalan peninggalan kebudayaan
dan sejarah yang ada di Bali.
Rencana tersebut mendapat dukungan dari raja-raja Bali, di antaranya I
Gusti
Bagus Jelantik (Raja Karangasem), I Gusti Alit Ngurah (Bestruurder Penegara Badung), I Gusti Ketut Jelantik
(Raja Buleleng), Raja Tabanan, serta unsur-unsur masyarakat dan seniman. Tim
tersebut membangun museum dengan perpaduan antara arsitektur pura
(tempat ibadah) dan puri (rumah bangsawan). Arsiteknya adalah
I Gusti Gede Ketut Kandel dari banjar Abasan, I
Gusti Ketut Rai dari banjar Belong, dan Curt Grundler dari Jerman. Dana dan material pembangunan
disokong oleh raja Buleleng, Tabanan, Badung,
dan Karangasem.
12. Museum Rumah Adat
Baanjuang, Bukittinggi
Museum ini didirikan
oleh seorang Belanda, Mr. Mondelar pada 1 Juli 1935. Museum Baanjuang
terletak di Pasar Atas Bukittinggi, tepatnya di dalam komplek Benteng
Fort De Kock. Bentuk bangunan berupa rumah tradisional yang memiliki anjuang
kiri dan kanan. Hampir semua
bahan
bangunan masih terlihat
ketradisionalannya
yang kental, misalnya atap bangunan masih menggunakan ijuk, dinding
terbuat dari kayu/bambu, serta
berlantai kayu.
Museum ini didirikan dengan tujuan untuk menghimpun benda-benda sejarah dan
budaya Tanah Minang. Dulunya
museum ini bernama Museum Bundo Kanduang. Sesuai
dengan Perda Kota Bukittinggi No.
5 tahun 2005, maka berganti nama menjadi Museum
Rumah Adat Baanjuang. Koleksi yang dipamerkan adalah kelompok etnografika, numismatika, binatang yang diawetkan, serta koleksi miniatur rumah gadang, surau, dan
rumah makan..
13. Museum Stedelijk Historisch,
Surabaya
Museum Stedelijk Historisch adalah cikal bakal Museum
Mpu Tantular. Museum
ini dirintis oleh seorang
berkebangsaan Jerman, Godfried Hariowald Von Faber. Faber
mulanya gemar mengoleksi foto tentang kehidupan
dan gedung di Surabaya, ia
mengumpulkannya
sejak 1922. Karena
kecintaannya
dan
keahliannya terhadap sejarah kota Surabaya, ia ditugasi oleh pemerintah Hindia Belanda menyusun buku tentang
Surabaya.
Akhirnya pada 1933 terbit buku Old Surabaya dan New Surabaya. Faber juga jatuh cinta
pada tinggalan sejarah kebesaran kerajaan Majapahit. Cita-citanya itu baru terwujud tahun
1933.
Museum dibuka secara resmi pada 25 Juni
1937.
Museum ini mengumpulkan koleksi yang
berkaitan dengan sejarah berdirinya kota
Surabaya. Awalnya lembaga ini hanya memamerkan koleksinya, dalam suatu ruang
kecil di Readhuis Ketabang. Atas kemurahan hati seorang janda bernama Han Tjong
King, museum dipindahkan ke Jalan Tegal Sari yang memiliki bangunan lebih
luas.
Seiring perjalanan waktu, masyarakat pemerhati museum berinisiatif untuk memindahkan museum ke lokasi
yang lebih memadai, dan akhirnya dipindahkan ke bangunan di Jalan Pemuda No. 3,
Surabaya.
Sepeninggal
Von Faber pada
30 September 1955, museum tersebut terbengkalai.
Baru pada 1 November 1974 diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan diberi
nama Museum
Negeri Mpu Tantular. Pada 1975, lokasi museum
dipindah ke Jalan Taman
Mayangkara 6, Surabaya, yang peresmiannya dilakukan
pada 12 Agustus 1977.
14. Museum Sonobudoyo, Yogyakarta
Museum ini didirikan pada
1935 untuk maksud tempat penyimpanan, pemeliharaan,
dan
pengenalan koleksi benda-benda, termasuk naskah-naskah kuno dari daerah Yogyakarta dan dari daerah lain. Peran lembaga penelitian kebudayaan Jawa, Java Instituut, untuk pendirian
museum ini sangat besar. Lembaga Java Instituut
dibentuk berdasarkan rekomendasi Kongres Kebudayaan I
(1918) yang digagas oleh Pangeran Prangwadono (Mangkunegoro VII).
Pengurus Java Instituut kebanyakan cendekiawan bumiputra, antara lain Pangeran
Prangwadono, Husein
Jayadiningrat,
Purbacaraka,
Rajiman Wedyodiningrat, P.H. Hadinegoro, dan R. Sastrowijono, di samping
cendekiawan Belanda seperti F.D.K Bosch, Th. Karsten, dan
S. Koperberg. Enam
belas tahun setelah berdiri, Java Instituut berhasil mengumpulkan benda budaya dari Sunda, Jawa, Madura, Bali, Palembang, dan lain-lain.
Kemudian timbul gagasan untuk mendirikan museum, lahirlah Museum Sonobudoyo pada 6
November
1935,
diresmikan
oleh
Sultan Hamengkubuwono VIII,
sekaligus menjadi
pelindung museum.
Koleksi Museum Sonobudoyo merupakan terlengkap kedua setelah Museum
Nasional. Pada zamannya, koleksi buku di perpustakaan museum sangat banyak. Berbagai
buku langka masih tersimpan sampai kini. Dulu penerbitan bergengsi pernah dikeluarkan Java Instituut, yakni majalah
Djawa. Namun majalah
berbahasa Belanda ini terhenti
penerbitannya bersamaan dengan
runtuhnya kekuasaan Nederlandsch Indie.
Demikian
pula
dengan
majalah Museum Sonobudoyo.
Pada masa
1950-an dan
1960-an majalah ini
sangat populer, namun tahun-tahun berikutnya
mati karena
ketiadaan dana. Semasa Java Instituut (1935-1941)
Museum Sonobudoyo pernah beberapa kali
menyelenggarakan pameran, yakni tosan aji,
wayang, ukiran kayu, batik,
kerajinan perak, dan
lukisan anak.
15. Museum Simalungun,
Sumatera
Utara
Pada
14 Januari 1937
diadakan rapat Harungguan. Ketika
itu
hadir tujuh orang Raja
Simalungun,
kepala
distrik, Tungkat, tokoh masyarakat, dan
tokoh pemerintahan setempat. Mereka menyetujui didirikannya sebuah
museum di Pematang Siantar.
Pembangunan museum
dimulai pada 10 April 1939 dan selesai pada
Desember 1939. Museum Simalungun menghabiskan biaya 1.650 gulden dan diresmikan pada 30 April 1940. Semula
museum ini disebut Rumah Pusaka Simalungun.
Tujuan pembangunan museum adalah untuk menghimpun, memelihara, dan memperkenalkan berbagai koleksi benda budaya, termasuk naskah-naskah kuno dari daerah Batak, agar
tidak
lenyap ditelan zaman.
Sejak 7 Juni 1955 museum
dikelola Yayasan
Museum Simalungun. Biaya perawatan dan pemeliharaannya diperoleh dari berbagai sumber,
seperti sumbangan pengunjung, pemerintah Kabupaten Simalungun, dan Pemerintah Kota
Pematangsiantar.
16. Museum Kota Batavia Lama (Oud
Batavia Museum),
Batavia
Museum ini disiapkan sejak 1937, menempati bangunan yang
terletak di Jalan Pintu
Besar Utara No. 27, Jakarta Kota. Sebelum dijadikan museum, gedung ini semula adalah sebuah gereja bernama “de
Oude Hollandsche Kerk“ yang dibangun tahun 1640. Tahun 1732 gedung ini hancur karena
terkena gempa, dan dibangun kembali oleh Bataviaasch
Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen dengan
bentuk
baru.
Namanya diganti menjadi “Nieuw Hollandsche Kerk” berfungsi pada
1733-1808. Gedung ini kemudian dibeli oleh perusahan Geo Wehry & Co untuk dijadikan gudang. Akhirnya pada 14 Agustus 1936 gedung berserta tanahnya dinyatakan sebagai monumen
(cagar budaya) dan dibeli dari perusahaan Geo Wehry
& Co oleh Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen.
Sejarah pendirian museum berawal ketika pada
1937, Yayasan Oud Batavia (Stichting Oud-Batavia) mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai
sejarah kota Batavia. Tujuannya, untuk mengumpulkan, merawat, dan memamerkan berbagai
koleksi. Diharapkan koleksi ini dapat menggambarkan sejarah kota Batavia sejak masa
prasejarah hingga masa kini, termasuk menggambarkan kehidupan masyarakat Betawi, dan
bangsa asing
seperti Arab, India, Belanda, Portugis, dan Cina. Pada pokoknya museum ingin menggambarkan Jakarta sebagai pusat pertemuan budaya. Oud Bataviaasche Museum
dibuka untuk umum pada 22 Desember 1939. Pengelolaannya diserahkan kepada Stichting
Oud Batavia. Museum inilah yang menjadi cikal-bakal Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).
Pada 1957 nama
Oud Bataviaasche
Museum berubah menjadi Museum Djakarta
Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia), nama baru dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Pada
17 September 1962 lembaga
ini diserahkan kepada Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI, dan pada 23
Juni
1968 gedung ini diserahkan ke Pemerintah DKI Jakarta. Pada 30 Maret 1974 nama museum ini berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Gedung museum
menempati gedung lain, yakni bekas gedung Balai Kota
atau Stadhuis di stadhuisplein (sekarang Taman
Fatahillah). Jaraknya
tidak
terlalu jauh dari
gedung lama yang
bekas
gereja.
Selanjutnya gedung
bekas gereja
dijadikan Museum
Wayang.
Dari uraian di
atas dapat diketahui perkembangan museum di masa kolonial.
Sebelum berdirinya
lembaga
museum di Indonesia, di kalangan masyarakat bumiputra
telah tumbuh kesadaran untuk melakukan hal yang
sama dengan misi museum,
meski masih dalam bentuk yang sederhana dan bersifat koleksi pribadi. Sistem pengelolaannya masih sederhana, belum mengikuti sistem manajemen museum. Bila “dipamerkan” biasanya hanya terbatas
pada kalangan sahabat dan keluarga
besar. Di Indonesia lembaga museum mulai berdiri pada
awal
abad
ke-18 pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam hal awal pendirian
museum di Indonesia,
kebanyakan merupakan bagian dari
kegiatan
lembaga ilmu pengetahuan atau penelitian, kekayaan alam dan kebudayaan, serta peradaban masa lalu,
terutama dari masyarakat Jawa, Bali, Lombok, Madura, dan Sumatera.
Menurut Luthfi Asiarto, oleh pemerintah kolonial museum-museum
kebudayaan beserta lembaga
penelitiannya
itu
mereka manfaatkan
untuk
mengenal kebudayaan rakyat jajahan.
Untuk mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam negara
kita, mereka mendirikan
museum-museum sains (Asiarto,
1987: 1-2).
Dalam hal pendiri museum, selain atas inisiatif dari kalangan bangsa Barat, ada beberapa nama
bumiputra yang telah
memiliki kesadaran akan
pentingnya
museum.
Kemudian mereka tampil berperan dalam pendirian museum. Sejumlah nama yang
patut
dicatat dalam sejarah, antara lain
Pangeran Sosrodiningrat IV (pendiri Museum Radya
Pustaka), R.A.A. Kromojoyo Adinegoro (pendiri Museum Mojokerto), Dr. Husein
Jayadiningrat (salah seorang pendiri Museum Sonobudoyo); Pangeran Prangwadono atau Mangkunegoro VII
(Museum Sonobudoyo dan Museum Mangkunegaran). Di Bali peran I Gusti Bagus
Jelantik
(Raja
Karangasem), I
Gusti Alit Ngurah
(Bestruurder Penegara
Badung), dan I Gusti Ketut Jelantik (Raja Buleleng), juga besar dalam mendirikan Museum
Bali.
Mengenai tema dan
koleksi yang dipamerkan ada
beberapa
macam.
Museum
Zoologi di Bogor dan Bukittinggi serta Museum Geologi Bandung melestarikan tinggalan
sejarah alam berupa keanekaragaman flora, fauna, bebatuan, tambang, fosil, dan lain-lain. Museum Radya
Pustaka, Sonobudoyo, Mangkunegaran, dan Museum Bali menggambarkan sejarah dan
kekayaan
budaya
kehidupan kerajaan, meskipun di dalamnya juga terdapat
koleksi arkeologi. Sementara itu,
Museum Mojokerto, Museum Trowulan, dan BGKW menyimpan koleksi tinggalan arkeologi. Dua museum yang
bertujuan melestarikan sejarah kota adalah Stedelijk Historisch Museum yang menggambarkan sejarah kota Surabaya dan
Oud Batavia Museum yang mengggambarkan sejarah kota Batavia. Selanjutnya ada empat museum yang berbasis pada penggambaran adat dan budaya daerah dan benda etnografi, yakni Museum BGKW, Museum Rumoh Aceh,
Museum Simalungun, dan Museum Rumah
Adat Baanjuang di Bukittinggi. Adapun Museum Gedong
Kirtya di Singaraja awalnya lebih mengarah pada pelestarian naskah kuno dalam
bentuk
lontara.
Menutup uraian dalam bab ini disimpulkan bahwa
pendirian lembaga museum di
Indonesia pada masa kolonial Belanda
tidak dapat dipisahkan dengan sistem politik penjajahan. Berkat keanekaragaman budaya yang dijadikan koleksi museum pemerintah Hindia Belanda dapat mengangkat derajat bangsa Belanda di
mata bangsa-bangsa Eropa
(Barat). Negeri Belanda yang
kecil saja berhasil menduduki
urutan ketiga di antara negara-
negara kolonial karena berbagai koleksi museum di Hindia Belanda dipamerkan dalam
berbagai pameran kolonial (Colonial Exhibition) di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh para
ahli kolonial di Prancis diakui bahwa produktivitas Indonesia sebagai daerah jajahan sangat
menguntungkan Belanda. Dalam koran L’Echo de Paris 10 Mei 1931 yang dikutip oleh Frances Gouda dinyatakan, ”Belanda kecil, bagaimanapun, merupakan kekuatan kolonial
ketiga di
dunia, dan negara
jajahannya Indonesia selalu menguntungkan
sepanjang
waktu” . Bagi Belanda, Indonesia adalah negeri jajahan yang setelah merdeka seperti ”surga yang
hilang”. Hal ini membuat M.B. van der Jagt, mantan Gubernur Surakarta dalam bukunya
”Memoires” yang dikutip oleh Gouda mengatakan, ”Dengan adanya penyerahan kedaulatan
kepada
Republik
Indonesia, Belanda dipaksa untuk meninggalkan karyanya
yang sangat berharga, yang merupakan hasil kerja keras selama tiga setengah abad, kehilangan kerjaan Hindianya,
kekayaan tropisnya…dst.”
.
C. Museum-museum Setelah Indonesia
Merdeka
Pendirian dan
pengembangan
museum di Indonesia semakin
meningkat dari
masa sebelum kemerdekaan. Tujuan pendirian
museum setelah kemerdekaan adalah
untuk kepentingan
pelestarian dan
pengembangan warisan budaya dalam
rangka persatuan dan peradaban bangsa, juga sebagai sarana
pendidikan nonformal. Jumlah koleksi pada masa
kolonial cukup besar,
namun disajikan
dengan konsep tata
pameran di Eropa. Sementara
jumlah koleksi setelah kemerdekaan memang masih terbatas, namun koleksi tersebut dipamerkan untuk
kepentingan bangsa dalam rangka penanaman rasa kebangsaaan dan jati
diri.
Bangunan museum sebelum kemerdekaan cenderung
menggunakan bangunan tua.
Karena tidak diperuntukkan sebagai museum,
maka tidak dapat memenuhi kriteria bangunan museum
modern. Sumber daya manusia dan pelayanan kepada pengunjung
pada masa ini
belum ada, sedangkan sarana dan fasilitas belum mencukupi.
Berbeda pada
masa setelah kemerdekaan,
bangunan sudah direncanakan khusus
untuk suatu museum dan
mencerminkan suatu gaya arsitektur tradisional daerah tertentu.
Sumber daya
manusia
dan pelayanan telah ada, meskipun belum profesional.
Museum-museum juga
telah ditunjang dengan sarana
dan fasilitas yang memadai.
1. Masa
Peralihan dan Pembangunan Museum (1957-1984)
Setelah Indonesia
merdeka, keberadaan museum-museum
diabdikan pada pembangunan bangsa Indonesia. Para
ahli bangsa Belanda yang aktif dalam lembaga atau
museum yang berdiri sebelum 1945, masih diizinkan tinggal di Indonesia dan menjalankan tugasnya. Banyak ahli bangsa Indonesia yang aktif dalam lembaga-lembaga dan museum
yang berdiri sebelum 1945,
seperti
Prof.
Husein Jayadiningrat dan Prof. Purbacaraka.
Kemampuan mereka tidak kalah dengan ahli Belanda. Sejak Indonesia merdeka,
mereka semakin meningkatkan kemampuan dan penelitiannya tentang kebudayaan Indonesia.
Setelah 1950, perhatian pemerintah Indonesia
terhadap pelestarian warisan budaya, semakin
meningkat. Pada
awalnya, sejak 1946, masalah kebudayaan dikelola oleh bagian kebudayaan
di Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan.
Bagian
kebudayaan ini tidak terinci tugasnya, karena ketika itu masih dalam masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Baru pada
1948 didirikan Jawatan
Kebudayaan dalam Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Pada 1957 dalam Jawatan
Kebudayaan
dibentuk Bagian Urusan Museum. Hal ini menandakan
masalah permuseuman menjadi
penting dan
lebih terfokus, karena adanya
lembaga
yang berwenang mengurusi
museum-museum di Indonesia.
Bagian
Urusan
Museum pada 1965 ditingkatkan
menjadi Lembaga
Museum- Museum
Nasional, kemudian pada
1968 berubah menjadi Direktorat Museum, dan pada
1975 berubah lagi menjadi Direktorat Permuseuman (Soemadio
dkk, 1987: 4 ).
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan permuseuman di Indonesia, pada 1971
Direktorat
Permuseuman mengelompokkan
museum menurut jenis koleksi.
Ketika itu
dikenal tiga jenis museum,
yaitu Museum Umum, Museum Khusus, dan Museum Lokal. Pada 1975, pengelompokan tersebut diubah menjadi Museum Umum, Museum Khusus, dan Museum
Pendidikan. Pada
1980, pengelompokan itu disederhanakan lagi menjadi Museum Umum dan
Museum Khusus. Berdasarkan
tingkat kedudukannya,
Direktorat Permuseuman
mengelompokkan lagi Museum Umum dan Museum Khusus menjadi Museum Tingkat Nasional, Museum Tingkat Regional (provinsi), dan Museum
Tingkat Lokal (Kodya/Kabupaten) (Soemadio,
dkk. 1986: 5-6).
Pada 1962 Amir
Sutaarga
mengemukakan beberapa
permasalahan museum di
Indonesia dan penyelesaiannya, yaitu:
1. Jumlah museum
di Indonesia
perlu ditambah.
2. Museum yang sudah
ada seharusnya diperluas
dan
diperbaiki.
3. Diperlukan tenaga-tenaga museum yang harus
mendapat didikan
khusus.
4. Ada hal-hal yang
dianggap penting, mengingat konstelasi masyarakat kita, yang merupakan
masyarakat yang berdiri di tengah tengah akulturasi.
5. Museum bukanlah semata-mata suatu alat untuk mencegah bahaya kemiskinan kebudayaan
suatu bangsa
saja tetapi
adalah suatu
lembaga untuk memajukan
peradaban bangsa (Sutaarga, 1962: 15).
Pada mulanya gagasan pokok untuk mendirikan museum umum di setiap ibu kota
provinsi adalah agar dapat mencerminkan falsafah umum museum seperti yang tersirat dalam rumusan definisi
museum menurut ICOM (The International Council of Museums).
Dalam kenyataannya,
museum umum yang
memiliki koleksi beragam, belum dianggap sebagai
integrated museum. Hal itu menyebabkan jumlah museum khusus jauh lebih banyak
dibandingkan museum umum.
Berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi lembaga yang dipercaya untuk
melakukan pembinaan terhadap
museum-museum,
menunjukkan adanya proses
perkembangan kelembagaan
museum
di
Indonesia. Hal
itu juga menunjukkan
adanya prioritas kedudukan permuseuman dalam hubungan pembangunan nasional
di bidang kebudayaan.
Dengan adanya pembangunan nasional yang
dilaksanakan melalui Rencana
Pembangunan Lima
Tahun (Repelita), maka pembangunan permuseuman
di Indonesia selangkah lebih maju. Hal itu
terjadi karena semakin jelas arah
pengembangan
dan
pembangunan museum,
sejak
Pelita I sampai dengan
Pelita VI atau
dalam
kurun
30 tahun.
Jumlah museum di Indonesia tercatat 262 buah, dikelola oleh pemerintah dan oleh swasta. Pembangunan permuseuman yang direncanakan dari Pelita I sampai dengan Pelita VI
dilaksanakan dengan dasar
keinginan untuk menyelamatkan dan melestarikan
warisan budaya
dan
warisan alam. Selain itu juga untuk memperkenalkan kepada masyarakat tentang latar
belakang budaya provinsi yang bersangkutan dengan berbagai ciri yang dimiliki, meliputi
lingkungan alam
dan budaya. (Asiarto. dkk, 1999: iii – vii).
Pembangunan museum yang monumental dan menarik, dengan sarana yang mutakhir, tentunya memerlukan dana
besar.
Hal
inilah yang menyebabkan pembangunan permuseuman
dilakukan secara
bertahap. Masalah lain terkait dengan studi kelayakan pendirian museum
menyangkut lokasi, bangunan, koleksi, peralatan museum,
organisasi, dan ketenagaan. Selain itu perlu memperhatikan kondisi sosial, budaya, ekonomi, serta
strategi pertahanan nasional
dan proses yang bersangkutan.
Pada era
pembangunan nasional,
di setiap ibu kota provinsi dibangun sebuah museum
negeri
provinsi. Pembangunan
dan
pengembangan
museum-museum negeri
provinsi berjalan melalui suatu
proses. Proses itu
dimulai dengan studi
kelayakan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu
profil daerah dilihat
dari pandangan
keperluan
museum umum.
Profil daerah tersebut dapat digunakan sebagai
dasar
penyusunan
suatu rencana induk. Rencana induk yang
disusun merupakan suatu dasar untuk menentukan perangkat lunak, perangkat
keras, dan ketenagaan museum
serta
desain bangunan museum
negeri provinsi.
Permasalahan yang sering timbul adalah penentuan letak lahan bangunan museum yang
akan didirikan. Begitu pula pentahapan pembangunan museum yang setiap tahun tidak
selalu mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas, karena sangat
dipengaruhi oleh dana yang tersedia.
Pada Pelita I
(Tahun anggaran 1969/1970 – 1973/1974) pembangunan museum didanai melalui Proyek Rehabilitasi
dan Perluasan Museum (lihat tabel
1).
Tabel 1. Museum
Pelita I
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta “Sonobudoyo” |
Sumber: Asiarto, 1999
Pada Pelita
II (Tahun anggaran
1974/1975
–
1978/1979)
telah dibangun
dan
direhabilitasi
beberapa museum seperti
pada tabel 2.
Tabel 2. Museum Pelita II
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta “Sonobudoyo” |
4 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Barat (Sri Baduga) |
5 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” |
6 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan “La
Galigo” |
7 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat “Adityawarman” |
8 |
Museem Negeri Provinsi Kalimantan Barat |
9 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara “Wanua Paksinata” |
10 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara |
11 |
Museum Kalimantan Timur “Mulawarman” |
12 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara
Barat |
13 |
Museum Negeri Provinsi Maluku
“Siwalima” |
14 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa” |
15 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah
“Ronggowarsito” |
16 |
Museum Negeri Provinsi Riau “Sang Nila Utama” |
17 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah |
18 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur |
19 |
Museum Negeri Provinsi Bengkulu |
20 |
Museum Negeri Provinsi Lampung
“Ruwa Jurai” |
21 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan
“Lambung Mangkurat” |
22 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara |
23 |
Museum Negeri Provinsi D.I Aceh |
24 |
Museum Negeri Provinsi Jambi |
25 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Tengah
“Balanga” |
Sumber: Asiarto, 1999
Pada Pelita III beberapa museum yang
telah dibangun dan direhabilitasi pada Pelita II dikembangkan lagi (lihat tabel 3), ditambah
pembangunan satu museum baru, yaitu museum provinsi Irian
Jaya (sekarang Papua).
Tabel 3. Museum
Pelita III
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta “Sonobudoyo” |
4 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Barat (Sri Baduga) |
5 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” |
6 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan “La
Galigo” |
7 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat “Adityawarman” |
8 |
Museem Negeri Provinsi Kalimantan Barat |
9 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara “Wanua
Paksinata” |
10 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara |
11 |
Museum Kalimantan Timur “Mulawarman” |
12 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara
Barat |
13 |
Museum Negeri Provinsi Maluku “Siwalima” |
14 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa” |
15 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah
“Ronggowarsito” |
16 |
Museum Negeri Provinsi Riau “Sang Nila Utama” |
17 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah |
18 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur |
19 |
Museum Negeri Provinsi Bengkulu |
20 |
Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa
Jurai” |
21 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan
“Lambung Mangkurat” |
22 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara |
23 |
Museum Negeri Provinsi D.I Aceh |
24 |
Museum Negeri Provinsi Jambi |
25 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Tengah
“Balanga” |
26 |
Museum Negeri Provinsi Irian Jaya
(sekarang Papua) |
Sumber: Asiarto, 1999
Pada
pembangunan
dan pengembangan
museum sejak
Pelita I
sampai Pelita III
terdapat berbagai kendala. Oleh karenanya pada 1980 Direktorat Permuseuman,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, menetapkan pedoman
pembakuan museum umum tingkat provinsi. Ada tiga dasar penetapan pembakuan ini, yaitu 1) memberikan arahan bagi museum umum negeri
tingkat provinsi terhadap
penyusunan dan
pengaturan
ruang-ruang,
sirkulasi antarruang, sirkulasi barang, jasa,
dan benda; 2) kondisi
lingkungan alam makro
dan mikro yang berbeda di
setiap wilayah;
dan 3) koleksi dan sasaran pemanfaatannya.
Dalam pedoman
pembakuan
tersebut disusun standarisasi museum umum negeri
provinsi yang didasarkan pada
segi kependudukan, etnis, politik dan keamanan, pariwisata,
potensi ketenagaan, penerimaan dana rutin dan pembangunan daerah, dan kebudayaan. Hal
ini kemudian mendorong
ditetapkannya tiga tipe museum, yaitu:
1. Tipe A:
Museum Umum Negeri Provinsi yang tergolong besar
2. Tipe B: Museum Umum
Negeri Provinsi yang tergolong sedang
3. Tipe C: Museum Umum Negeri Provinsi yang tergolong kecil (Sutaarga, dkk. 1980:
1-5).
Pada Pelita IV (tahun anggaran 1984/1985-1988/1989) beberapa museum yang telah dibangun dan direhabilitasi pada
Pelita III dikembangkan lagi (lihat tabel 4).
Pengembangan
permuseuman pada Pelita IV secara umum akan
ditekankan pada masalah-masalah:
1. Menyelesaikan
pembangunan
Museum Tingkat Provinsi.
2. Memantapkan secara merata fungsi
museum-museum di lingkungan Depdikbud.
3. Memantapkan kerja sama dengan museum-museum maupun lembaga permuseuman
di luar negeri, dengan tujuan mengembangkan dan memperluas cakrawala pengertian kebudayaan
masyarakat Indonesia,
melalui pameran-pameran
internasional.
4. Mulai membangun beberapa Museum Khusus
tingkat nasional
untuk meningkatkan
apresiasi
masyarakat terhadap ilmu
dan teknologi.
5.
Merintis penyusunan seluruh permuseuman ke dalam suatu sistem terpadu melalui
penyusunan
dan pengesahan Undang-undang Permuseuman.
6. Mengembangkan
program-program fungsionalisasi museum yang diorientasikan
secara jelas kepada pembangunan nasional
dan untuk mencapai kemampuan tinggal landas
pada Repelita IV.
7. Pengembangan
Museum Nasional sebagai museum induk akan dilanjutkan
dan ditingkatkan.
8. Dalam
rangka peningkatan
fungsionalisasi,
museum
menyelenggarakan
pameran
khusus dan pameran
keliling.
9. Bantuan kepada museum-museum swasta, berjumlah sekitar
seratus museum.
10. Peningkatan
apresiasi terhadap
permuseuman di kalangan
generasi
muda
dan apresiasi masyarakat
pada umumnya.
Tabel 4. Museum
Pelita IV
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta “Sonobudoyo” |
4 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Barat (Sri Baduga) |
5 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” |
6 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan “La
Galigo” |
7 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat “Adityawarman” |
8 |
Museem Negeri Provinsi Kalimantan Barat |
9 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara “Wanua Paksinata” |
10 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara |
11 |
Museum Kalimantan Timur “Mulawarman” |
12 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara
Barat |
13 |
Museum Negeri Provinsi Maluku “Siwalima” |
14 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa” |
15 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah
“Ronggowarsito” |
16 |
Museum Negeri Provinsi Riau
“Sang Nila Utama” |
17 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah |
18 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur |
19 |
Museum Negeri Provinsi Bengkulu |
20 |
Museum Negeri Provinsi Lampung
“Ruwa Jurai” |
21 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan
“Lambung Mangkurat” |
22 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara |
23 |
Museum Negeri Provinsi D.I Aceh |
24 |
Museum Negeri Provinsi Jambi |
25 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Tengah
“Balanga” |
26 |
Museum Negeri Provinsi Irian Jaya
(sekarang Papua) |
Sumber: Asiarto, 1999
Pada Pelita V beberapa museum yang telah dibangun dan direhabilitasi pada Pelita V
dikembangkan lagi (lihat tabel
5).
Tabel 5. Museum Pelita
V
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta
“Sonobudoyo” |
4 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Barat (Sri Baduga) |
5 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” |
6 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan “La
Galigo” |
7 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat “Adityawarman” |
8 |
Museem Negeri Provinsi
Kalimantan
Barat |
9 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara “Wanua Paksinata” |
10 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara |
11 |
Museum Kalimantan Timur “Mulawarman” |
12 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara
Barat |
13 |
Museum Negeri Provinsi Maluku “Siwalima” |
14 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa” |
15 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah
“Ronggowarsito” |
16 |
Museum Negeri Provinsi Riau “Sang Nila Utama” |
17 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah |
18 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur |
19 |
Museum Negeri Provinsi Bengkulu |
20 |
Museum Negeri Provinsi Lampung
“Ruwa Jurai” |
21 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan
“Lambung Mangkurat” |
22 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara |
23 |
Museum Negeri Provinsi D.I Aceh |
24 |
Museum Negeri Provinsi Jambi |
25 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Tengah
“Balanga” |
26 |
Museum Negeri Provinsi Irian Jaya
(sekarang Papua) |
Sumber: Asiarto, 1999
Pada Pelita VI
dibangun satu Museum Negeri Provinsi termuda, yaitu Timor Timur (Tahun anggaran 1994/1905 – 1998/1999). Beberapa museum yang
telah dibangun dan direhabilitasi
pada Pelita V
dikembangkan lagi (lihat tabel
6).
Tabel 6. Museum
Pelita VI
No |
Nama Museum |
1 |
Museum Pusat |
2 |
Museum Negeri Provinsi Bali |
3 |
Museum Negeri Provinsi D.I. Yogyakarta “Sonobudoyo” |
4 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Barat (Sri Baduga) |
5 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Timur “Mpu Tantular” |
6 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Selatan “La
Galigo” |
7 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat “Adityawarman” |
8 |
Museem Negeri Provinsi Kalimantan Barat |
9 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara “Wanua Paksinata” |
10 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara |
11 |
Museum Kalimantan Timur “Mulawarman” |
12 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara
Barat |
13 |
Museum Negeri Provinsi Maluku “Siwalima” |
14 |
Museum Negeri Provinsi Sumatera Selatan “Bala Putra Dewa” |
15 |
Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah
“Ronggowarsito” |
16 |
Museum Negeri Provinsi Riau “Sang Nila Utama” |
17 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tengah |
18 |
Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Timur |
19 |
Museum Negeri Provinsi Bengkulu |
20 |
Museum Negeri Provinsi Lampung
“Ruwa Jurai” |
21 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Selatan
“Lambung Mangkurat” |
22 |
Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara |
23 |
Museum Negeri Provinsi D.I Aceh |
24 |
Museum Negeri Provinsi Jambi |
25 |
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Tengah
“Balanga” |
26 |
Museum Negeri Provinsi Irian Jaya
(sekarang Papua) |
27 |
Museum Negeri Provinsi Timor Timur |
Sumber: Asiarto, 1999
Selain Museum Negeri Provinsi,
juga dibangun museum khusus,
misalnya Museum
Kebangkitan Nasional, Museum Sumpah Pemuda, Museum
Perumusan Naskah Proklamasi,
Museum Joang 45,
dan Monumen Nasional untuk kepentingan penanaman nilai perjuangan bangsa. Museum-museum di atas didirikan dan dibangun pada masa kepemimpinan Drs. Moh.
Amir Sutaarga (1965-1980), Drs.
Bambang Soemadio (1980-1991), Dra. Soejatmi
Satari (1991-1996), dan Drs. Tedjo
Susilo
(1996-1998).
Pembinaan dan pengembangan permuseuman
di Indonesia, khususnya di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meliputi bidang
koleksi, fisik bangunan,
ketenagaan, sarana
penunjang, fungsionalisasi, serta peranan museum sebagai pembina
museum daerah dan swasta (Soemadio,
dkk. 1986: 6).
2. Pembinaan dan Pembangunan Permuseuman (1984-2000)
Untuk mencapai tujuan pembangunan
kebudayaan nasional
dan
kepercayaan
terhadap Tuhan Yang
Mahaesa sesuai dengan arahan Garis Besar Haluan Negara 1983, maka disusun serangkaian
kebijakan
yang
meliputi Pembinaan
Kebahasaan, Kesusastraan,
dan Kepustakaan, Pembinaan Kesenian, Pembinaan Tradisi,
Peninggalan Sejarah,
Kepurbakalaan,
dan
Permuseuman, serta Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Upaya
melestarikan
berbagai
peninggalan
sejarah dan
kepurbakalaan sebagai kekayaan
budaya dan kebanggaan nasional ditingkatkan antara
lain melalui pengamanan dan perlindungan
benda
cagar budaya dari kemungkinan
perusakan, pencurian, penyelundupan, dan perdagangan benda tersebut, serta penyuluhan mengenai pentingnya nilai peninggalan sejarah dan purbakala untuk meningkatkan
kesadaran dan rasa memiliki dari masyarakat. Untuk
itu, kerja sama antarlembaga pemerintah dan masyarakat di dalam maupun di
luar negeri terus dikembangkan.
Tugas dan peranan museum dikembangkan, tidak hanya
menjadi tempat menyimpan
benda peninggalan sejarah dan purbakala, tetapi juga
sebagai tempat penelitian serta
pendidikan budaya dan jati diri bangsa
terutama bagi generasi muda. Museum Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
juga
dikembangkan dalam rangka
penanaman dan pengembangan budaya
iptek sejak dini. Upaya pembinaan dan pengembangan permuseuman
di Indonesia masih belum dapat
berjalan dengan baik.
Berikut adalah beberapa kendala yang
dihadapi oleh Direktorat Permuseuman
berdasarkan pembangunan dan
pengembangan
museum,
serta upaya untuk
mengatasinya:
a. Bidang Ketenagaan (Sumber
Daya Manusia)
Museum pada
saat itu dituntut secara aktif
meningkatkan ketenagaan (SDM) yang
dapat
mendorong gerak maju pembangunan
nasional. Museum yang
mampu melakukan peran semacam itu harus dikelola atau didukung
oleh tenaga yang
memiliki profesionalisme
permuseuman yang handal. Kendala yang
dihadapi adalah belum adanya lembaga akademik yang formal di bidang spesialisasi permuseuman. Sebagian besar tenaga yang
bertugas di museum, baik lulusan perguruan tinggi maupun
yang berpendidikan non perguruan tinggi
pada awalnya belum dapat
dikatakan “siap
pakai”.
Menghadapi kenyataan demikian, perlu dilakukan pembinaan untuk peningkatan
kemampuan dan keterampilan tenaga-tenaga museum. Usaha yang
telah dilakukan dan terus
dikembangkan adalah melalui penataran-penataran di dalam negeri maupun pelatihan di luar
negeri. Jumlah tenaga Direktorat Permuseuman, Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Museum Negeri Provinsi dan Museum Khusus, serta latar belakang
pendidikan yang
ada dapat dilihat pada tabel
7 dan
tabel 8.
b. Bidang Peraturan dan Perundang-undangan
Sampai saat itu peraturan perundang-undangan tentang permuseuman belum dapat
direalisasikan. Peraturan perundang-undangan sangat penting sebagai dasar hukum kewenangan instansi terkait dalam melaksanakan tugas pembinaan permuseuman.
Selain itu,
peraturan
perundang-undangan
akan menjadi
tolok ukur kelayakan
berdirinya suatu museum.
Untuk
mengatasi permasalahan
tersebut disusun dan ditetapkan
Peraturan
PemerintahNo.19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di
Museum. Meskipun demikian, hal tersebut masih kurang
sesuai dengan yang
dibutuhkan, karena koleksi museum bukan hanya benda cagar budaya melainkan benda
bukan cagar
budaya.
c. Bidang Koleksi
Koleksi sebelum kemerdekaan pada
umumnya menggunakan bahasa
Belanda, sehingga kurang mendapatkan perhatian dan perawatan. Di samping
itu
terdapat masalah
dalam pengadaan koleksi karena kurangnya pengertian berbagai pihak yang
dapat memperlancar pengadaan
tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka di setiap museum yang didirikan
sebelum
kemerdekaan,
perlu
diadakan perbaikan administrasi
dan perawatan khusus. Untuk museum yang
baru dan akan didirikan, perlu adanya pengertian dari berbagai pihak, sehingga pelaksanaan pengadaan koleksi
dalam rangka pengamanan
warisan budaya di Indonesia dapat
berjalan dengan
baik.
d. Fisik Bangunan
Bangunan yang
dijadikan sebagai museum
pada umumnya adalah bangunan
bersejarah yang dilindungi oleh Monumenten Ordonantie (Undang-undang Kepurbakalaan
1931) sehingga memerlukan perawatan khusus. Selain itu untuk bangunan baru pada umumnya
menghadapi masalah prosedur pengadaan tanah dan kesulitan mendapatkan arsitek di bidang permuseuman pada waktu pembangunannya.
Upaya yang
dilakukan
adalah memberikan tindakan perawatan khusus
untuk
bangunan
bersejarah
tersebut,
disamping itu
dilakukan perluasan
dalam rangka pengembangan museum. Untuk museum yang baru dan akan didirikan perlu diadakan
pendekatan dengan berbagai pihak untuk memperoleh
kemudahan memperoleh
areal tanah
yang memenuhi
persyaratan
museum.
e. Sarana Penunjang
Setiap museum pada umumnya
belum memiliki peralatan kantor
dan
peralatan teknis. Hal ini disebabkan hambatan prosedural dan di pasaran tidak tersedia jenis peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan.
Upaya yang
dilakukan adalah megadakan peralatan dan perlengkapan yang sesuai dengan standarisasi permuseuman yang
telah ditetapkan, baik peralatan dan perlengkapan
teknis permuseuman maupun peralatan
dan
perlengkapan kantor.
f. Sumber Dana
Masalah
sumber dana akan menyebabkan munculnya masalah sarana, prasarana, dan tidak lancarnya kegiatan fungsionalisasi museum. Bila museum-museum pemerintah hanya
mengandalkan dana dari pemerintah dan museum swasta hanya mengandalkan sumber dana dari yayasan penyelenggara,
maka
kebutuhan dana museum
tidak akan terpenuhi.
Upaya untuk mengatasi
kendala
ini
adalah
setiap
museum
harus “memasarkan”
dirinya
untuk mencari sponsor dan donatur. Oleh karenanya museum-museum di Indonesia
harus berusaha mencapai terobosan-terobosan yang kreatif.
g. Apresiasi
Masyarakat
Masalah yang
dihadapi museum adalah kurangnya apresiasi masyarakat. Museum identik dengan tempat sepi yang jarang dikunjungi oleh masyarakat. Kendala tersebut dapat diselesaikan dengan kegiatan yang
inovatif dan kreatif, agar masyarakat mengapresiasi
museum. Di samping itu perlu dilakukan kajian pengunjung
untuk mengetahui ekspektasi masyarakat terhadap
museum.
Sasaran pembinaan dan pengembangan permuseuman
di Indonesia
menargetkan peningkatan fungsi dan peran seluruh komponen yang mendukung tugas-tugas museum
sebagai
lembaga tempat studi, pendidikan,
dan rekreasi. Jumlah museum yang didirikan dapat
dilihat pada tabel 9.
Tabel 7. Jumlah Museum sebelum Otonomi
Daerah
No |
Jenis Museum |
Jumlah |
1 |
Museum Tingkat Nasional |
1 buah |
2 |
Museum Negeri Provinsi |
26 buah |
3 |
Museum Khusus di lingkungan Depdikbud |
4 buah |
4 |
Museum-museum di luar lingkungan Depdikbud |
231 buah |
Pembinaan
terhadap
museum-museum
di luar Depdikbud, seperti
museum
milik
departemen lain atau milik swasta hanya menyangkut pembinaan di bidang teknis, sedangkan
pembiayaannya dan pengelolaanya
tetap dilakukan oleh penyelenggara museum itu sendiri.
Sasaran
pembinaan
yang dilaksanakan
oleh
Direktorat
Permuseuman dijabarkan dalam
bentuk kegiatan-kegiatan, baik yang dibiayai oleh rutin
maupun pembangunan.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan permuseuman di Indonesia, diperlukan suatu pembakuan yang dijadikan
landasan dan pedoman pengembangan museum nasional, museum umum, dan museum khusus di Indonesia. Maka Direktorat Permuseuman, Ditjen
Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,
menetapkan Pembakuan Rencana
Induk Permuseuman di Indonesia. Tujuan pembakuan ini adalah untuk mewujudkan fungsi museum secara optimal sebagai
sarana kultural
edukatif, inspiratif,
dan rekreatif dalam
rangka
menunjang
usaha
pemerintah
untuk
mencerdaskan
kehidupan bangsa
dan usaha
memajukan kebudayaan nasional.
Dalam pembakuan
museum tersebut, dibuat kebijakan
operasional yang
menyangkut usaha-usaha atau tindakan-tindakan berupa peningkatan dan pengembangan baik untuk Museum Nasional, Museum Umum, maupun Museum Khusus yang meliputi koleksi,
fisik bangunan,
ketenagaan, sarana penunjang, fungsionalisasi, dan
museum pembina. Yang dimaksud dengan museum pembinaan
adalah
Museum Nasional
dan museum-museum negeri provinsi diharapkan
menjadi
contoh dan membina permuseuman di daerahnya.
3. Kebijakan Permuseuman Setelah Otonomi Daerah (2000-sekarang)
Pasca
Otonomi Daerah, museum dikembangkan dengan
paradigma baru. Hal
ini
terjadi akibat perubahan dari
penyelenggaraan pemerintahan
yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi. Museum negeri provinsi
yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah
pusat sebagai Unit Pelaksana Teknis, kini dikelola oleh pemerintah daerah sebagai Unit
Pelaksana Teknis Dinas yang
membidangi kebudayaan. Dengan kata lain, museum
sepenuhnya dikelola oleh pemerintah
daerah tingkat
provinsi.
Museum memang lembaga yang dinamis, oleh karena itu Direktorat Permuseuman, Direktorat Jenderal Sejarah
dan
Purbakala,
melakukan evaluasi
museum-museum
di
Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi
tersebut diketahui bahwa ada faktor internal dan
eksternal yang
dihadapi museum. Faktor internal di antaranya adalah pemahaman tenaga museum terhadap
fungsi kelembagaan,
perangkat kebijakan
dan hukum yang belum
mengikuti perubahan eksternal, mekanisme penyelenggaraan dan pengelolaan yang masih lemah, penanganan koleksi yang
belum maksimal (mulai dari pengadaan sampai dengan penghapusan), kurangnya pembiayaan
untuk
pengembangan museum, dan belum
maksimalnya peran kehumasan. Sementara
faktor eksternal di antaranya adalah perubahan
paradigma museum sebagai ruang
eksklusif menjadi ruang publik, perubahan metode
penyajian yang
pada mulanya taksonomik dan kronologis menjadi tematik. Di samping itu
penyelenggaraan dan
pengelolaan museum
belum selaras dengan perkembangan teknologi informasi dan ilmu
pengetahuan.
Meskipun berbagai permasalahan tersebut muncul, di sisi lain
museum juga memiliki berbagai
macam
potensi, di antaranya:
1. Museum merupakan tempat pelestarian, lembaga pendidikan nonformal, sumber data penelitian,
dan bagian dari
industri budaya;
2.
Minat untuk mendirikan museum oleh pemerintah, perorangan, komunitas, instansi
swasta, dan
perguruan tinggi
dari waktu ke waktu
cenderung meningkat;
3. Terbentuknya asosiasi yang mengelola permuseuman; program tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility) pada perusahaan yang
membantu mempopulerkan museum;
4. Beberapa perguruan tinggi mengembangkan studi museum
(Universitas Indonesia,
Universitas Padjadjaran, dan
Universitas Gadjah Mada); dan adanya dukungan dari
komunitas yang aktif membuat program-program permuseuman
untuk publik.
Permasalahan dan potensi museum tersebut mendorong
Presiden Republik Indonesia menetapkan program prioritas
nasional melalui
Inpres
nomor
1
tahun 2010 tentang
Percepatan Pelaksanaan
Prioritas
Pembangunan, menetapkan Revitalisasi Museum sebagai Program Prioritas Pembangunan Nasional
khususnya dalam Prioritas 11: Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Berdasarkan hal tersebut, Revitalisasi Museum
menjadi salah satu Program Unggulan yang
tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian
Kebudayaan
dan Pariwisata 2010-2014.
Revitalisasi museum adalah
upaya untuk meningkatkan kualitas museum dalam melayani masyarakat sesuai dengan fungsinya, sehingga museum
dapat menjadi tempat yang
dirasakan sebagai kebutuhan untuk dikunjungi.
Visi revitalisasi museum yaitu “museum di Indonesia
menjadi sarana edukasi dan rekreasi yang berkualitas”. Sementara misinya adalah:
1. Meningkatkan tampilan museum
menjadi lebih menarik.
2. Meningkatkan
profesionalisme dalam pengelolaan
museum
dan pelayanan
pengunjung.
3. Mengembangkan
program yang inovatif
dan
kreatif.
4. Mewujudkan dan
memperkuat jejaring museum
dan komunitas.
5. Menetapkan
kebijakan pengelolaan
museum.
6. Meningkatkan pencitraan museum.
Revitalisasi ini terdiri atas
enam
aspek, yaitu:
1. Fisik
Aspek fisik terdiri atas penataan interior, penataan eksterior, rehabilitasi fisik, fasilitas
penunjang, perluasan
bangunan
museum, dan pendirian museum baru. Penataan interior meliputi renovasi ruang pameran tetap, penataan
ruang
penyimpanan koleksi
(storage), penataan laboratorium, penataan ruang
pengenalan, dan penataan bengkel kerja preparasi. Sementara penataan eksterior museum, meliputi penataan
taman,
pembuatan papan
nama
museum, penanda, dan billboard
calendar of event.
Rehabilitasi fisik mencakup dua perlakuan yang
berbeda, yaitu rehabilitasi fisik
bangunan cagar budaya dan bukan cagar budaya. Jika
bangunan yang
digunakan
sebagai museum
adalah bangunan cagar
budaya,
maka
ketentuan pelaksanaan rehabilitasi harus menganut pada
prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya
sesuai dengan aturan perundang-
undangan. Sedangkan jika bangunan yang
digunakan museum adalah bangunan bukan cagar
budaya, maka bangunan tersebut dapat direhabilitasi sesuai dengan perencanaan museum masing-masing.
Fasilitas Penunjang meliputi sarana yang
dapat digunakan oleh publik, seperti perbaikan/pembuatan
toilet, perbaikan ruang audiovisual, perbaikan auditorium, perbaikan kantin dan
toko cenderamata, pengadaan bangku
istirahat pengunjung,
pengadaan
ramp untuk kursi roda, dan pengadaan lemari
penitipan barang.
Perluasan bangunan museum ini tidak diterapkan pada semua museum. Perluasan yang dimaksud adalah penambahan ruang yang berkaitan langsung dengan pengembangan
ruang pamer dan rehabilitasi fisik
bangunan. Hal ini juga berlaku untuk bangunan bukan
cagar
budaya.
Pendirian museum baru ini dikhususkan untuk daerah yang tidak memiliki museum.
Usulan yang terkait
dengan usulan
pendirian museum baru, ketentuan pelaksanaannya
merujuk pada Surat Keputusan
Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata
Nomor KM.33/PL.303/MKP/2004 tentang Museum dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
18 Tahun 2010 tentang Pedoman
Permuseuman.
2.
Manajemen
Manajemen pada
Revitalisasi Museum terdiri atas empat bagian, yaitu manajemen
koleksi, manajemen sumber
daya
manusia, manajemen keuangan, dan manajemen layanan pengunjung. Manajemen yang cenderung
dijalankan oleh
pemerintah pusat adalah manajemen sumber daya manusia, sedangkan tiga
manajemen lainnya
diharapkan pelaksanaannya dilakukan oleh museum masing-masing dengan bantuan dinas yang membidangi
kebudayaan.
Manajemen sumber daya manusia meliputi upaya peningkatan sumber
daya manusia
yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Permuseuman, Direktorat
Jenderal Sejarah dan Purbakala di antaranya Peningkatan
Kemampuan dan Keterampilan
Tingkat Dasar,
Menengah, dan Lanjut; Pelatihan Keterampilan Tenaga
Museum Bidang Museum untuk
Publik (Public Programming); Workshop Konservasi Kerja Sama dengan
CCF, Workshop Manajemen Storage Kerja
Sama
dengan
UNESCO;
dan Pemberian Beasiswa Program Spesialis Keahlian Museum Strata-2 bekerja
sama dengan Universitas
Indonesia.
Manajemen koleksi adalah serangkaian penanganan koleksi
museum, sejak
pengadaan koleksi hingga
dipamerkan atau
disimpan. Manajemen koleksi pada revitalisasi
mencakup pengadaan koleksi, database koleksi, registrasi koleksi, konservasi koleksi, penelitian,
dan dokumentasi.
Manajemen pelayanan pengunjung
merupakan usaha museum dalam memberikan informasi secara baik kepada pengunjung, tujuannya agar mereka mendapatkan kepuasan berkaitan dengan pengetahuan tentang
koleksi yang dipamerkan. Pelayanan informasi yang
diberikan ini erat hubungannya dengan tujuan museum sebagai pusat studi, pendidikan dan “rekreasi”. Pelayanan pengunjung meliputi pengaturan pengunjung, bimbingan edukatif
kultural di museum, ceramah, dan layanan
masyarakat
lainnya.
Manajemen keuangan adalah pengelolaan finansial di museum, yang
akan menjadi
sumber pendanaan museum. Masing-masing museum
mempunyai manajemen yang
berbeda
dalam hal pengelolaan keuangan, karena sumber dana
atau cara perolehan dananya berbeda.
Museum pemerintah akan mempunyai pengelolaan finansial yang
berbeda dengan museum
swasta yang sumber
dananya dikumpulkan
secara mandiri.
3. Jejaring
Pada
aspek jejaring, terdapat empat hal yang diutamakan, yaitu pemberdayaan masyarakat serta kemitraan dalam dan luar negeri. Pemberdayaan
masyarakat mencakup
pendampingan komunitas,
pengembangan relawan museum,
sarasehan, workshop,
dan program pemberdayaan lainnya. Sementara kemitraan dalam dan luar negeri mencakup kerja
sama dengan perguruan tinggi, kerja
sama dengan dunia usaha, kerja
sama
dengan asosiasi, komunitas, dan akreditasi museum.
4. Kebijakan
Implikasi disempurnakannya Undang-undang No.5 Tahun 1995 tentang Benda Cagar Budaya menjadi
Undang-undang No.11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya membuat
sejumlah kebijakan harus dibuat. Beberapa kebijakan yang dibuat dalam bentuk pedoman adalah Pedoman Akreditasi
Museum
dan Pedoman Penilaian Koleksi
sebagai
kekayaan
negara.
Selain itu terdapat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor 33 Tahun
2004 tentang Museum yang
dijadikan sebagai Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK).
Saat
ini telah disusun dan disiapkan Peraturan Pemerintah
tentang Museum sebagai pengganti
dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang
Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.
5. Pencitraan
Pencitraan dilakukan dengan berbagai kegiatan, di antaranya kampanye Gerakan Nasional
Cinta
Museum (GNCM),
publikasi cetak
dan elektronik, serta peningkatan pelayanan pengunjung. Pencitraan dilakukan untuk
memperbaiki citra
museum di mata masyarakat.
6. Program
Tujuan dari
aspek program adalah mengembangkan
program
yang inovatif dan
kreatif. Program yang
dimaksud adalah program di dalam museum (in
house), seperti lomba,
festival, sayembara, dan program edukasi. Sementara program di luar museum (outreach), antara lain
museum keliling,
museum masuk sekolah,
dan museum masuk mal.
Selain Revitalisasi Museum, Direktorat Permuseuman memiliki program utama lain, yaitu GNCM. GNCM adalah upaya penggalangan kebersamaan antar pemangku kepentingan
dan
pemilik kepentingan dalam
rangka pencapaian
fungsionalisasi
museum
guna memperkuat apresiasi masyarakat terhadap
nilai
kesejarahan
dan budaya bangsa.
Gerakan ini didasarkan atas pemikiran bahwa
museum sebagai bagian dari pranata
sosial dan sebagai suatu lembaga, memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsa, menggalang persatuan dan kesatuan, wawasan nusantara, serta memberikan layanan kepada
masyarakat. Oleh
karena itu museum
dituntut melestarikan
aset bangsa tersebut sebagai
sumber penguatan pemahaman, apresiasi, dan kepedulian jati diri bangsa. Namun, kondisi museum saat ini kurang berfungsi sebagai lembaga yang memberikan layanan kepada
masyarakat. Untuk mengatasi kendala
tersebut, perlu upaya menggalang kebersamaan antar pemangku dan pemilik kepentingan (share
dan
stakeholder) dalam memperkuat fungsi museum pada posisi yang dicita-citakan, dengan membuat sebuah
Gerakan yaitu
GNCM.
Tahun Kunjung
Museum (TKM)
2010
yang telah
dicanangkan oleh Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata pada 30 Desember 2009 merupakan momentum awal GNCM.
TKM ini merupakan
upaya Kementerian
Kebudayaan dan
Pariwisata untuk mengajak
masyarakat mengunjungi museum,
bersama-sama membenahi dan mengevaluasi berbagai
masalah, serta membuka peluang museum ke depan. Hal ini didasari pemikiran bahwa
museum merupakan pranata sosial yang
memiliki tanggung jawab mencerdaskan bangsa, menggalang persatuan dan kesatuan, memberikan layanan kepada masyarakat, serta melestarikan aset bangsa sebagai sumber penguatan
pemahaman, apresiasi, dan kepedulian
pada jati diri bangsa.
GNCM ini
lebih dikenal dengan tagline Museum di
Hatiku,
bertujuan:
1. Terjadinya peningkatan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap nilai penting
budaya bangsa;
2. Semakin
kuatnya kepedulian dan peran serta pemangku kepentingan dalam pengembangan
museum;
3.
Terwujudnya museum sebagai
media belajar
dan kesenangan
yang dinamis dan
atraktif
bagi pengunjung;
4. Terwujudnya museum
sebagai kebanggaan
publik;
5. Terwujudnya kualitas pelayanan
museum;
6. Peningkatan jumlah kunjungan
ke
museum.
Fokus GNCM adalah membenahi peran dan posisi museum yang difokuskan pada
aspek internal dan eksternal. Aspek internal berupa revitalisasi fungsi museum dalam rangka penguatan pencitraan melalui pendekatan konsep manajemen yang terkait dengan fisik dan
nonfisik; sementara aspek eksternal berupa
konsep kemasan program yaitu menggunakan bentuk
sosialisasi dan kampanye pada masyarakat sebagai bagian dari stakeholder.
Sasaran
GNCM adalah menciptakan peran museum sebagai bagian dari pranata kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya bangsa; mewujudkan landasan yang
kokoh bagi masyarakat untuk meningkatkan
apresiasi kesejarahan dan
kebudayaan
dalam upaya memperkuat jati diri bangsa; menciptakan kerja sama yang berimbang
dan saling menguntungkan antara museum dengan pemangku
kepentingan; kuantitas dan
kualitas kunjungan ke museum-museum
seluruh Indonesia; membentuk rumusan kebijakan-kebijakan terkait dengan penyelenggaraan museum yang tidak saja menekankan kepada kepentingan
ideologis dan kepentingan akademis, tetapi juga pada
kepentingan lain dalam pemanfaatan
museum; serta
terbentuknya
sinergisitas dari
para
pemangku kepentingan khususnya di bidang pariwisata untuk menempatkan museum sebagai lembaga yang memiliki daya tarik
wisata budaya untuk dikunjungi.
Dukungan dari beberapa komunitas untuk
mempromosikan museum kepada publik
juga
berperan dalam GNCM ini. Beberapa komunitas tersebut adalah Komunitas
Jelajah Budaya, Komunitas
Historia Indonesia, dan Sahabat Museum.
Komunitas
Jelajah Budaya (KJB)
merupakan
komunitas yang peduli pada
seni, budaya, bangunan tua serta peninggalan sejarah bangsa. KJB
didirikan pada 17 Agustus 2003
sebagai bentuk keprihatinan terhadap
kurangnya perhatian dan
apresiasi masyarakat terhadap
warisan budaya bangsanya. Salah satu tujuan KJB
adalah, memperkenalkan museum sebagai
sebuah lembaga yang memberi perhatian besar bagi pelestarian budaya bangsa. Beberapa
kegiatan yang baru saja diselenggarakan oleh KJB adalah Night Time Journey at Museum, The Big Five
Museum, dan Bank Tempoe
Doeloe.
Komunitas Historia
Indonesia (KHI) merupakan komunitas yang peduli terhadap potensi sejarah dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. KHI yang didirikan pada 22
Maret 2003 ini membina hubungan baik dengan berbagai pihak, terutama yang terkait dengan
pendidikan, pariwisata, sejarah dan museum.
Beberapa museum yang dijadikan mitra yaitu
Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Mandiri,
Museum Bank Indonesia, Museum Juang
45,
Museum Bahari, dan Museum Kebangkitan Nasional.
Sahabat
Museum
merupakan
komunitas anak muda yang peduli dan
mempunyai minat yang sama mengenai peninggalan sejarah dan budaya nusantara. Tujuan komunitas ini
adalah untuk berbagi informasi mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan sejarah,
seni dan budaya, baik mengenai Indonesia pada umumnya, maupun Jakarta pada
khususnya. Kegiatan Sahabat Museum di antaranya adalah
kunjungan ke
museum, lokasi dan bangunan yang mempunyai
nilai sejarah.
Selain komunitas, Program Tanggung
Jawab Sosial (CSR) pada perusahaan juga diperlukan untuk mempopulerkan museum. Beberapa museum bahkan telah bermitra
dengan perusahaan melalui
CSRnya.
PT
Pertamina (Persero)
telah membantu pengembangan Museum
Migas Graha Widya Patra (Gawitra). Bantuan dalam bentuk dokumentasi
(pembuatan film dokumenter,
pengadaan buku panduan, perlengkapan komputer
dan
laptop), peralatan pengamanan (tabung pemadam dan portable fire pump),
dan perbaikan diorama
serta penambahan sarana di ruang
pamer.
CSR Starbucks Coffee juga membantu pelestarian budaya dalam bentuk Kampanye
Museum. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan keberadaan museum di Jakarta, Starbucks membagikan tiket gratis ke museum
di lebih dari 50 gerai di Jabodetabek. Tiket
tersebut untuk lima
museum, yaitu Museum Nasional, Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), Museum Wayang, Museum Seni Rupa
dan
Keramik, serta
Museum Tekstil. Selain untuk memperkenalkan museum, hal ini juga
untuk meningkatkan kecintaan publik terhadap
peninggalan budaya
bangsa
dan membantu mempromosikan
keberadaan museum-museum di Jakarta sebagai pusat sejarah, budaya,
dan
edukasi.
Keberhasilan Revitalisasi Museum dan GNCM ini amat bergantung pada komitmen
semua pihak khususnya pengelola museum dan stakeholder
terkait lainnya, baik yang berada pada tingkat nasional
maupun daerah, untuk menjalankannya.
Walaupun diakui masih banyak
isu penting untuk dirumuskan dalam dunia permuseuman di Indonesia, namun diharapkan berbagai aktivitas dalam program ini dapat dikembangkan sedemikian rupa untuk mengakomodasi kekurangan
dan
keterbatasan tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar